Siapa yang menyebabkan bangsa ini terjerembab di lumpur perseteruan dengan simbah darah yang kemudian menjadi gembel sambil mengemis kian kemari? Jawabannya setatikan nafas : Pelacur! Bukan pelacur yang lonte, yang menjajakan diri di gang-gang kumuh, atau tempat-tempat rendezvous para lelaki hidung belang. Lonte itu justru bernasib lebih mulia, paling tidak untuk suami yang doyan mabuk, dan anak-anak kurang gizi yang butuh uang sekolah.
Melacur, dengan naluri primitif libido kekuasaan, bisa menjelma sebagai politisi-politisi picisan, provokator-provokator ulung bersedan mewah, cendekiawan yang menghamba pada kekuasaan, mahasiswa-mahasiswa tanpa akal sehat yang melulu mengamini sebuah perilaku anrkis, rohaniawan yang melegitimasi penguasa culas dengan memelintir kitab suci, pengacara-pengacara yang menjadi budak belian penjarah uang rakyat, cukong-cukong yang memperdaya brankas negara, aparatur hukum yang menggadaikan kebenaran, atau militer yang mengoyak jantung anak tetangga sendiri tanpa penjelasan.
Melacur dengan profesi, lebih hina dari menjual tubuh sendiri. Dia merasa orgasme melihat nyawa orang lain meregang. Sementara menjual diri, semata-mata demi sekaleng susu bagi jabang bayi. Memang makhluk yang satu ini berideologi dengan aji mumpung demi kedudukan jangka pendek. Tak ada urusan dengan ratusan ribu pengungsi yang bergelimpangan di tanah air sendiri, utang-utang yang terus membumbung tinggi, puluhan juta pengangguran yang hidup luntang-lantung.
Tak ada empati pada tangisan bayi yang sedang menyambut malaikat maut, anak-anak putus sekolah yang melata di pintu-pintu rumah, mayat-mayat yang meruapkan aroma balas dendam. Tak hirau! “Demi keempukan kursi kita terus melacur saja,” sergah olitisi karbitan.
Pelacur sekarang, mendapat giliran menikam dari belakang kepada pelacur kemarin yang kebetulan menjadi germonya. Dengan mengatasnamakan rakyat, seenak udelnya menjual kecap kelompoknya. Sulit menarik garis pemisah, antara adab dan biadab. Antara celeng dan pencoleng. Karena bermandi uang, ia gampang menyeriangi di depan kamera TV. Di koran-koran ia terpampang karena mampu mentraktir jurnalis bodreks, padahal ia cuma pecundang yang dengan mudah menggiring massa demi superegonya.
Kekuasaan bukan lagi – cenderung korup seperti yang kerap dikutip para ilmuwan. Itu barang basi disini, lantaran logika kekuasaan itu memang korup. Ia melah tercebur menjelma menjadi pelacur dengan ejakulasi otoritarian, mengikuti paham Marchiavellianisme bagi sebuah keserakahan. Meski mulut sampai berbusa ngomong soal moral karena dengan ilmu secetek sang pelacur cuma mengandalkan retorika, menyembur pemirsa dengan patatah-petitih trias-politika.
Apakah para pelacur tersebut pernah mendapat bisikan John F.Kennedy: kalau politik itu kotor maka seni akan membersihkannya. Pernahkah ia mendengar requim nya Mozart, membaca prosa Kafka, roman-roman Ernest Hemingway, lirisme Sapardi Djoko Damono, senandung Gibran Sampai cerita-cerita Tagore? Bilakah ia sempat berkaca pada lukisan-lukisan Joko Pekik, merenung pada absurditas Lonesco atau lakon keterasingan Arifin C.Noer, menonton Life is Beautiful-nya Roberto Benigni, menikmati tarian bissu, menyerap ajaran-ajaran lontara, seraya menyelami kebersahajaan seorang Hatta, Karaeng Patingalloang, atau Mandela ?
Agama bagi seorang pelacur, adalah kepentingan sesaat. Sekali mengerdipkan mata isi kantong pasti menggelembung. Kian lama duduk di singgasana kekuasaan semakin ekstase ia. Nelangsa betul bangsa yang rombeng ini, yang tidak pernah punya rasa percaya diri. Sekali digertak,gelagapan, dan secepat kilat mencari kesalahan pada kambing hitam.
Pilu benar tunas-tunas muda bagi bangsa yang hidup tanpa imajinasi dan inspirasi. Sungguh gamang anak-anak menyaksikan sandiwara orang tuanya yang tiada pernah memberikan ending cerita yang mencerahkan.
Kalau begitu, melacur sajalah dengan pelatuk bom, sambil menghitung seberapa yang ditangguk buat bekal kroni-kroni dan anak cucu tujuh turunan ke bawah.
Ok. Melacurlah hati tanpa nurani. Busyet.
Melacur, dengan naluri primitif libido kekuasaan, bisa menjelma sebagai politisi-politisi picisan, provokator-provokator ulung bersedan mewah, cendekiawan yang menghamba pada kekuasaan, mahasiswa-mahasiswa tanpa akal sehat yang melulu mengamini sebuah perilaku anrkis, rohaniawan yang melegitimasi penguasa culas dengan memelintir kitab suci, pengacara-pengacara yang menjadi budak belian penjarah uang rakyat, cukong-cukong yang memperdaya brankas negara, aparatur hukum yang menggadaikan kebenaran, atau militer yang mengoyak jantung anak tetangga sendiri tanpa penjelasan.
Melacur dengan profesi, lebih hina dari menjual tubuh sendiri. Dia merasa orgasme melihat nyawa orang lain meregang. Sementara menjual diri, semata-mata demi sekaleng susu bagi jabang bayi. Memang makhluk yang satu ini berideologi dengan aji mumpung demi kedudukan jangka pendek. Tak ada urusan dengan ratusan ribu pengungsi yang bergelimpangan di tanah air sendiri, utang-utang yang terus membumbung tinggi, puluhan juta pengangguran yang hidup luntang-lantung.
Tak ada empati pada tangisan bayi yang sedang menyambut malaikat maut, anak-anak putus sekolah yang melata di pintu-pintu rumah, mayat-mayat yang meruapkan aroma balas dendam. Tak hirau! “Demi keempukan kursi kita terus melacur saja,” sergah olitisi karbitan.
Pelacur sekarang, mendapat giliran menikam dari belakang kepada pelacur kemarin yang kebetulan menjadi germonya. Dengan mengatasnamakan rakyat, seenak udelnya menjual kecap kelompoknya. Sulit menarik garis pemisah, antara adab dan biadab. Antara celeng dan pencoleng. Karena bermandi uang, ia gampang menyeriangi di depan kamera TV. Di koran-koran ia terpampang karena mampu mentraktir jurnalis bodreks, padahal ia cuma pecundang yang dengan mudah menggiring massa demi superegonya.
Kekuasaan bukan lagi – cenderung korup seperti yang kerap dikutip para ilmuwan. Itu barang basi disini, lantaran logika kekuasaan itu memang korup. Ia melah tercebur menjelma menjadi pelacur dengan ejakulasi otoritarian, mengikuti paham Marchiavellianisme bagi sebuah keserakahan. Meski mulut sampai berbusa ngomong soal moral karena dengan ilmu secetek sang pelacur cuma mengandalkan retorika, menyembur pemirsa dengan patatah-petitih trias-politika.
Apakah para pelacur tersebut pernah mendapat bisikan John F.Kennedy: kalau politik itu kotor maka seni akan membersihkannya. Pernahkah ia mendengar requim nya Mozart, membaca prosa Kafka, roman-roman Ernest Hemingway, lirisme Sapardi Djoko Damono, senandung Gibran Sampai cerita-cerita Tagore? Bilakah ia sempat berkaca pada lukisan-lukisan Joko Pekik, merenung pada absurditas Lonesco atau lakon keterasingan Arifin C.Noer, menonton Life is Beautiful-nya Roberto Benigni, menikmati tarian bissu, menyerap ajaran-ajaran lontara, seraya menyelami kebersahajaan seorang Hatta, Karaeng Patingalloang, atau Mandela ?
Agama bagi seorang pelacur, adalah kepentingan sesaat. Sekali mengerdipkan mata isi kantong pasti menggelembung. Kian lama duduk di singgasana kekuasaan semakin ekstase ia. Nelangsa betul bangsa yang rombeng ini, yang tidak pernah punya rasa percaya diri. Sekali digertak,gelagapan, dan secepat kilat mencari kesalahan pada kambing hitam.
Pilu benar tunas-tunas muda bagi bangsa yang hidup tanpa imajinasi dan inspirasi. Sungguh gamang anak-anak menyaksikan sandiwara orang tuanya yang tiada pernah memberikan ending cerita yang mencerahkan.
Kalau begitu, melacur sajalah dengan pelatuk bom, sambil menghitung seberapa yang ditangguk buat bekal kroni-kroni dan anak cucu tujuh turunan ke bawah.
Ok. Melacurlah hati tanpa nurani. Busyet.
No comments:
Post a Comment