Saturday, June 11, 2011

Dialog Agama, Pluralitas Budaya dan Visi Perdamaian

 
BELAKANGAN ini dialog antar-agama (baca; dialog antar-cendekiawan agama) mulai semarak kembali, baik dalam forum-forum diskusi/seminar maupun di berbagai media massa. Tema yang diangkat dalam dialog-dialog itu tidak lagi berkutat pada masalah-masalah teologis-dogmatis, akan tetapi berkaitan dengan masalah pembangunan, kemiskinan, keterbelakangan yang sedang menjadi masalah serius umat manusia sekarang ini.
Diakui atau tidak, sekarang ini kita hidup dalam masa globalisasi yang luar biasa, di mana sistem internasional negara-negara bangsa, ekonomi dunia serta makin kecilnya dunia berkat sistem komunikasi dan transportasi yang semakin canggih memberi makna kehidupan manusia ke arah yang lebih maju dan modern. Namun, di sisi lain globalisasi tidak jarang menimbulkan ketegangan/benturan yang sangat keras antar-peradaban. Masing-masing peradaban merasa perlu mendapatkan supremasi yang tertinggi dalam percaturan dunia. Inilah yang kemudian membuat proyeksi masa depan manusia menjadi terhambat.
Benturan budaya
Dialog agama pada dasarnya merupakan ikhtiar untuk melakukan proyeksi terhadap masa depan umat manusia. Dalam hal ini, dialog agama sudah barang tentu tidak bisa dilepaskan dengan perbincangan mengenai peradaban dunia. Sebab, peradaban dunia tidak lagi dipandang sebagai fenomena etnis dan antropologis belaka, melainkan dipandang sebagai bagian dari gejala politik, ekonomi, budaya serta agama.
Adalah tesis Samuel P. Huntington yang menyatakan bahwa dunia akan dibentuk sebagian besar oleh interaksi antara tujuh atau delapan peradaban besar, yakni peradaban Barat, Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Ortodoks Slavia, Amerika Latin, dan mungkin juga Afrika. Tesis itu semakin mempertegas bahwa ketegangan dunia (benturan peradaban) tidak lagi diilhami oleh polarisasi dualistik ideologi; Barat (Kapitalis) dan Timur (Komunis) seperti ketika terjadinya perang dingin. Ketegangan itu bukan pada batas-batas ideologis yang menjadi sumber konflik bagi pertarungan dan pertumpahan darah, akan tetapi akan terjadi sepanjang garis pemisah budaya (cultural fault lines) yang saling memisahkan peradaban-peradaban itu.
Beberapa ketegangan yang terjadi di India antara umat Islam dan Hindu, di Israel, umat Kristen di Irlandia Utara, Bosnia-Herzegovina dan Serbia, suku Aborigin dan warga Kulit Putih Australia, Pemerintah dan kaum Muslim di Moro Philipina, suku Kreol dan budaya Perancis di Amerika Latin, merupakan sebagian gambaran dari titik rawan yang memisahkan agama yang satu dengan agama yang lain, kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain.
Dengan demikian, benturan peradaban tampaknya menjadi sesuatu yang tidak terelakkan. Sebab diferensiasi antar-peradaban tidak hanya riil, tapi juga mendasar. Peradaban terdiferensiasi oleh sejarah, bahasa, budaya, tradisi, dan yang lebih penting lagi, agama. Selain itu, proses modernisasi ekonomi dan perubahan sosial dunia membuat orang atau masyarakat tercerabut dari identitas lokal mereka sehingga memperlemah peranan negara sebagai sumber identitas mereka.
Lebih spesifik Huntington menegaskan bahwa Barat menemukan seteru yang kemudian menjadi permanen, dengan adanya kolaborasi antara Islam dan Konfusianisme. Bentuk kerja sama antara Islam dan Konfusius dianggap paling menonjol dan telah bangkit menentang kepentingan, nilai-nilai, dan kekuatan Barat. Di tengah negara-negara Barat dan Rusia sedang mengurangi kekuatan militer mereka, negara-negara Timur Tengah (yang notabene Islam), Korea Utara, dan Cina justru mengembangkan kemampuan militernya.
Kesalahpahaman sejarah
Lebih dua tahun lalu, tesis itu -yang kemudian dianggap sebuah tuduhan bagi Islam dan Konfusianisme sebagai ancaman Barat- spontan menimbulkan reaksi keras di kalangan umat Islam. Tesis itu dianggap terlalu menyudutkan Islam dan Konfusianisme. Bahkan tidak sedikit Islamisis, Islamolog atau cendekiawan-cendekiawan Islam sendiri, baik yang fundamentalis maupun modernis melihat bahwa penghadapan Islam-Konfusius dan Barat itu merupakan ekspresi ketakutan-ketakutan Barat terhadap Timur.
Padahal kalau ditengok ke belakang, ketegangan itu merupakan akibat adanya kesalahpahaman (misscomunication) sejarah yang kemudian menimbulkan trauma sejarah yang cukup mendalam. Oleh karena itu dirasakan perlunya dialog yang serius antara keduanya, di mana batas-batas primordialisme budaya/peradaban semaksimal mungkin dapat dilampaui. Sebab, pluralitas budaya adalah sesuatu yang niscaya.
Perbedaan budaya bukanlah hal baru. Perbedaan tersebut sama tuanya dengan sejarah umat manusia. Dialektika sejarah umat manusia adalah gabungan antara sejarah perbenturan dan pertukaran antara budaya dan peradaban. Mustahil memahami suatu peradaban manusia manapun yang pernah ada dengan cara terisolasi, yaitu hanya mempertimbangkan keadaannya sendiri tanpa pengaruh budaya dari kelompok lain.
Menurut pandangan Bassam Tibi (Agama dan Dialog Antar Peradaban, 1996), kita perlu menyadari bahwa peradaban-peradaban mempunyai cara pandang dunia yang berbeda dan kemudian mencari model-model atau kerangka bagi kehidupan damai bersama. Dan suatu moralitas internasional hak asasi manusia yang didasari landasan lintas budaya memberikan harapan yang paling menjanjikan.
Hak asasi manusia tidaklah terbatas pada satu komunitas agama atau peradaban tertentu. Ia bersifat universal, dalam arti ia melampaui kepentingan peradaban tertentu atau kepentingan agama tertentu. Masing-masing pihak kiranya merasakan sebuah kebutuhan yang sama agar semua komunitas manusia bersedia bergabung dalam suatu moralitas lintas-agama dan membangun suatu konsensus mengenai hak asasi manusia itu.
Berangkat dari pemahaman tentang hak asasi manusia di atas, dialog antar-agama atau antar-peradaban hendaknya selalu berlandaskan pada rasionalitas dan moralitas internasional yang bersifat universal seperti demokrasi dan hak asasi manusia. Dari situ dialog agama diharapkan mampu menciptakan sekaligus membangun sebuah visi perdamaian dunia yang mempunyai jangkauan ke depan dengan mengembangkan pola budaya pluralistik baru yang lebih toleran. Kiranya format yang demikian itu bisa membawa peran baru bagi agama ke posisi yang sangat penting, di mana karakter universal setiap agama mampu memberikan kontribusi positif tentang bangunan nilai-nilai dan ekspresi budaya yang bisa dianggap sebagai milik semua orang, sehingga dapat menjadi contoh mengenai moral dan etika dalam interaksi antara satu sama lain.

KISAH CINTA PALING INDAH (BAGINDA NABI SAWW BERSAMA SAYIDAH KHADIJAH AL KUBRA)


Sahabatku sekalian, taukah kalian arti cinta sejati ? Apakah sahabat pernah mendengar atau mengetahui kisah cinta Qais dan Laila atau kisah cinta Romeo dan Juliet ataukah Laila dan Majnun ?

Apakah kisah cinta seperti itu yang dikatakan sebagai kisah cinta sejati ? Seperti yang sahabat ketahui bahwa kisah cinta mereka tidaklah berakhir di pelaminan bahkan rela mati demi cintanya.

Lalu, cinta seperti apakah yang dikatakan sebagai cinta sejati. Cinta sejati antara dua insan adalah cinta yang terus abadi dalam setelah pernikahan yang berlandaskan atas kecintaan mereka kepada Sang Pemilik Cinta yaitu Allah 'Azza Wa Jalla. Walaupun salah satu meninggal, namun cinta sejati ini terus saja abadi. Kisah cinta siapakah yang begitu indah ini ?

Kisah cinta yang paling indah ini siapa lagi yang memilikinya kalau bukan kisah cinta Junjungan kita, Muhammad Saw kepada Khadijah ra.

Sungguh sebuah cinta yang mengaggumkan, cinta yang tetap abadi walaupun Khadijah telah meninggal. Setahun setelah Khadijah meninggal, ada seorang wanita shahabiyah yang menemui Rasulullah Saw. Wanita ini bertanya, "Ya Rasulullah, mengapa engkau tidak menikah ? Engkau memiliki 9 keluarga dan harus menjalankan seruan besar."

Sambil menangis Rasulullah Saw menjawab, "Masih adakah orang lain setelah Khadijah?"

Kalau saja Allah tidak memerintahkan Muhammad Saw untuk menikah, maka pastilah Beliau tidak akan menikah untuk selama-lamanya. Nabi Muhammad Saw menikah dengan Khadijah layaknya para lelaki. Sedangkan pernikahan-pernikahan setelah itu hanya karena tuntutan risalah Nabi Saw, Beliau tidak pernah dapat melupakan istri Beliau ini walaupun setelah 14 tahun Khadijah meninggal.

Pada masa penaklukan kota Makkah, orang-orang berkumpul di sekeliling Beliau, sementara orang-orang Quraisy mendatangi Beliau dengan harapan Beliau mau memaafkan mereka, tiba-tiba Beliau melihat seorang wanita tua yang datang dari jauh. Beliau langsung meninggalkan kerumunan orang ini. Berdiri dan bercakap-cakap dengan wanita itu. Beliau kemudian melepaskan jubah Beliau dan menghamparkannya ke tanah. Beliau duduk dengan wanita tua itu.

Aisyah bertanya, "Siapa wanita yang diberi kesempatan, waktu, berbicara, dan mendapat perhatian penuh Nabi Saw ini?"

Nabi menjawab, "Wanita ini adalah teman Khadijah."

"Kalian sedang membicarakan apa, ya Rasulullah?" tanya Aisyah

"Kami baru saja membicarakan hari-hari bersama Khadijah."

Mendengar jawaban Beliau ini, Aisyah pun merasa cemburu. "Apakah engkau masih mengingat wanita tua ini (Khadijah), padahal ia telah tertimbun tanah dan Allah telah memberikan ganti untukmu yang lebih baik darinya?"

"Demi Allah, Allah tidak pernah menggantikan wanita yang lebih baik darinya. Ia mau menolongku di saat orang-orang mengusirku. Ia mau mempercayaiku di saat orang-orang mendustakanku."

Aisyah merasa bahwa Rasulullah Saw marah. "Maafkan aku, ya Rasulullah."

"Mintalah maaf kepada Khadijah, baru aku akan memaafkanmu." (Hadits ini diriwayatkan Bukhari dari Aisyah)

KISAH BUMI DAN LANGIT


Adapun terjadinya peristiwa Israk dan Mikraj adalah kerana bumi merasa bangga dengan langit. Berkata dia kepada langit, "Hai langit, aku lebih baik dari kamu kerana Allah S.W.T. telah menghiaskan aku dengan berbagai-bagai negara, beberapa laut, sungai-sungai, tanam-anaman, beberapa gunung dan lain-lain."
Berkata langit, "Hai bumi, aku juga lebih elok dari kamu kerana matahari, bulan, bintang-bintang, beberapa falah, buruj, 'arasy, kursi dan syurga ada padaku."
Berkata bumi, "Hai langit, ditempatku ada rumah yang dikunjungi dan untuk bertawaf para nabi, para utusan dan arwah para wali dan solihin (orang-orang yang baik)."

Bumi berkata lagi, "Hai langit, sesungguhnya pemimpin para nabi dan utusan bahkan sebagai penutup para nabi dan kekasih Allah seru sekalian alam, seutama-utamanya segala yang wujud serta kepadanya penghormatan yang paling sempurna itu tinggal di tempatku. Dan dia menjalankan syari'atnya juga di tempatku."
Langit tidak dapat berkata apa-apa, apabila bumi berkata demikian. Langit mendiamkan diri dan dia mengadap Allah S.W.T dengan berkata, "Ya Allah, Engkau telah mengabulkan permintaan orang yang tertimpa bahaya, apabila mereka berdoa kepada Engkau. Aku tidak dapat menjawab soalan bumi, oleh itu aku minta kepada-Mu ya Allah supaya Muhammad Engkau dinaikkan kepadaku (langit) sehingga aku menjadi mulia dengan kebagusannya dan berbangga."

Lalu Allah S.W.T mengabulkan permintaan langit, kemudian Allah S.W.T memberi wahyu kepada Jibrail A.S pada malam tanggal 27 Rejab, "Janganlah engkau (Jibrail) bertasbih pada malam ini dan engkau 'Izrail jangan engkau mencabut nyawa pada malam ini."
Jibrail A.S. bertanya, " Ya Allah, apakah kiamat telah sampai?"
Allah S.W.T berfirman, maksudnya, "Tidak, wahai Jibrail. Tetapi pergilah engkau ke Syurga dan ambillah buraq dan terus pergi kepada Muhammad dengan buraq itu."
Kemudian Jibrail A.S. pun pergi dan dia melihat 40,000 buraq sedang bersenang-lenang di taman Syurga dan di wajah masing-masing terdapat nama Muhammad. Di antara 40,000 buraq itu, Jibrail A.S. terpandang pada seekor buraq yang sedang menangis bercucuran air matanya. Jibrail A.S. menghampiri buraq itu lalu bertanya, "Mengapa engkau menangis, ya buraq?"

Berkata buraq, "Ya Jibrail, sesungguhnya aku telah mendengar nama Muhammad sejak 40 tahun, maka pemilik nama itu telah tertanam dalam hatiku dan aku sesudah itu menjadi rindu kepadanya dan aku tidak mahu makan dan minum lagi. Aku laksana dibakar oleh api kerinduan."
Berkata Jibrail A.S., "Aku akan menyampaikan engkau kepada orang yang engkau rindukan itu."
Kemudian Jibrail A.S. memakaikan pelana dan kekang kepada buraq itu dan membawanya kepada Nabi Muhammad S.A.W. Wallahu'alam.

Buraq yang diceritakan inilah yang membawa Rasulullah S.A.W dalam perjalanan Israk dan Mikraj.

Friday, June 10, 2011

Cukuplah kematian sebagai nasihat


Perbanyaklah mengingat sesuatu yang melenyapkan semua kelezatan, yaitu kematian!" (HR. Tirmidzi)


Berbahagialah hamba-hamba Allah yang senantiasa bercermin dari kematian. Tak ubahnya seperti guru yang baik, kematian memberikan banyak pelajaran, membingkai makna hidup, bahkan mengawasi alur kehidupan agar tak lari menyimpang.

Nilai-nilai pelajaran yang ingin diungkapkan guru kematian begitu banyak, menarik, bahkan menenteramkan. Di antaranya adalah apa yang mungkin sering kita rasakan dan lakukan.

Kematian mengingatkan bahwa waktu sangat berharga
Tak ada sesuatu pun buat seorang mukmin yang mampu mengingatkan betapa berharganya nilai waktu selain kematian. Tak seorang pun tahu berapa lama lagi jatah waktu pentasnya di dunia ini akan berakhir. Sebagaimana tak seorang pun tahu di mana kematian akan menjemputnya.

Ketika seorang manusia melalaikan nilai waktu pada hakekatnya ia sedang menggiring dirinya kepada jurang kebinasaan. Karena tak ada satu detik pun waktu terlewat melainkan ajal kian mendekat. Allah swt mengingatkan itu dalam surah Al-Anbiya ayat 1, "Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya)."

Ketika jatah waktu terhamburkan sia-sia, dan ajal sudah di depan mata. Tiba-tiba, lisan tergerak untuk mengatakan, "Ya Allah, mundurkan ajalku sedetik saja. Akan kugunakan itu untuk bertaubat dan mengejar ketinggalan." Tapi sayang, permohonan tinggallah permohonan. Dan, kematian akan tetap datang tanpa ada perundingan.

Allah swt berfirman dalam surah Ibrahim ayat 44, "Dan berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari (yang pada waktu itu) datang azab kepada mereka, maka berkatalah orang-orang zalim: 'Ya Tuhan kami, beri tangguhlah kami walaupun dalam waktu yang sedikit, niscaya kami akan mematuhi seruan Engkau dan akan mengikuti rasul-rasul...."

Kematian mengingatkan bahwa kita bukan siapa-siapa
Kalau kehidupan dunia bisa diumpamakan dengan pentas sandiwara, maka kematian adalah akhir segala peran. Apa pun dan siapa pun peran yang telah dimainkan, ketika sutradara mengatakan 'habis', usai sudah permainan. Semua kembali kepada peran yang sebenarnya.

Lalu, masih kurang patutkah kita dikatakan orang gila ketika bersikeras akan tetap selamanya menjadi tokoh yang kita perankan. Hingga kapan pun. Padahal, sandiwara sudah berakhir.

Sebagus-bagusnya peran yang kita mainkan, tak akan pernah melekat selamanya. Silakan kita bangga ketika dapat peran sebagai orang kaya. Silakan kita menangis ketika berperan sebagai orang miskin yang menderita. Tapi, bangga dan menangis itu bukan untuk selamanya. Semuanya akan berakhir. Dan, peran-peran itu akan dikembalikan kepada sang sutradara untuk dimasukkan kedalam laci-laci peran.

Teramat naif kalau ada manusia yang berbangga dan yakin bahwa dia akan menjadi orang yang kaya dan berkuasa selamanya. Pun begitu, teramat naif kalau ada manusia yang merasa akan terus menderita selamanya. Semua berawal, dan juga akan berakhir. Dan akhir itu semua adalah kematian.

Kematian mengingatkan bahwa kita tak memiliki apa-apa
Fikih Islam menggariskan kita bahwa tak ada satu benda pun yang boleh ikut masuk ke liang lahat kecuali kain kafan. Siapa pun dia. Kaya atau miskin. Penguasa atau rakyat jelata Semuanya akan masuk lubang kubur bersama bungkusan kain kafan.

Cuma kain kafan itu.
Itu pun masih bagus. Karena, kita terlahir dengan tidak membawa apa-apa. Cuma tubuh kecil yang telanjang.

Lalu, masih layakkah kita mengatasnamakan kesuksesan diri ketika kita meraih keberhasilan. Masih patutkah kita membangga-banggakan harta dengan sebutan kepemilikan. Kita datang dengan tidak membawa apa-apa dan pergi pun bersama sesuatu yang tak berharga.

Ternyata, semua hanya peran. Dan pemilik sebenarnya hanya Allah. Ketika peran usai, kepemilikan pun kembali kepada Allah. Lalu, dengan keadaan seperti itu, masihkah kita menyangkal bahwa kita bukan apa-apa. Dan, bukan siapa-siapa. Kecuali, hanya hamba Allah. Setelah itu, kehidupan pun berlalu melupakan peran yang pernah kita mainkan.

Kematian mengingatkan bahwa hidup sementara
Kejayaan dan kesuksesan kadang menghanyutkan anak manusia kepada sebuah khayalan bahwa ia akan hidup selamanya. Hingga kapan pun. Seolah ia ingin menyatakan kepada dunia bahwa tak satu pun yang mampu memisahkan antara dirinya dengan kenikmatan saat ini.

Ketika sapaan kematian mulai datang berupa rambut yang beruban, tenaga yang kian berkurang, wajah yang makin keriput, barulah ia tersadar. Bahwa, segalanya akan berpisah. Dan pemisah kenikmatan itu bernama kematian. Hidup tak jauh dari siklus: awal, berkembang, dan kemudian berakhir.

Kematian mengingatkan bahwa hidup begitu berharga
Seorang hamba Allah yang mengingat kematian akan senantiasa tersadar bahwa hidup teramat berharga. Hidup tak ubahnya seperti ladang pinjaman. Seorang petani yang cerdas akan memanfaatkan ladang itu dengan menanam tumbuhan yang berharga. Dengan sungguh-sungguh. Petani itu khawatir, ia tidak mendapat apa-apa ketika ladang harus dikembalikan.

Mungkin, inilah maksud ungkapan Imam Ghazali ketika menafsirkan surah Al-Qashash ayat 77, "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) dunia..." dengan menyebut, "Ad-Dun-ya mazra'atul akhirah." (Dunia adalah ladang buat akhirat)

Orang yang mencintai sesuatu takkan melewatkan sedetik pun waktunya untuk mengingat sesuatu itu. Termasuk, ketika kematian menjadi sesuatu yang paling diingat. Dengan memaknai kematian, berarti kita sedang menghargai arti kehidupan.

ALLAH PUN NAIK BECAK


Tukang tukang becak berduyun duyun dengan pemberontakan jiwanya yang dilindas oleh kekuasaan semena-mena, yg bersembunyi dibalik pasal pasal yang tak pernah jelas dasarnya. Tukang tukang becak darahnya merah, mendidih dan menggelegak, lalu berenang di atas sungai keringatnya sendiri, sembari memprotes penguasa, sampai tingkat paling frustasi; protes kepada Tuhan.
Mereka ramai ramai menengadahkan tangannya ke langit, sambil mengernyitkan jidat dan mengkoma kamitkan bibirnya yang telah lama mongering. Tuhan, kenapa Engkau berikan kursi kekuasaan kepada orang-orang yan gtak peduli pada nasib kemiskinan kami.
Kenapa Engkau limpahkan mandat keamanan negeri pada aparat yg dengan bersuka ria mengobrak abrik nafas kami. Mengapa penguasa-penguasa kami lupa pada ibundanya, padahal kami kami yang dibawah inilah yang menyangga kelahiran mereka, bahkan kokohnya pilar pilar istana mereka. Mengapa tangis-tangis kami hanya menjadi bahan sinisme dan tertawaan pesta-pesta mereka. Tuhan, dimana keadilan Mu, dimana pula Cinta dan Kasihmu.
Doa tukang becak menusuk langit hingga tembus sampai Arasy Ilahi sana. Doa yang menggetarkan malaikat dan berjuta juta ruh yang bergemuruh dengan tasbihnya. Tiba tiba suara menggema dari langit. Wahai hamba-hambaKu tercinta. Akun memang menakdirkan sebuah kezaliman bagi kekuasaan yang menindas, karena aku hendak menghancurkan rezim yang menginjak nginjak hati nuranimu. Aku memang mengutus seorang yg telah lama alpa kepada Ku, tak pernah menyebut nama Ku, tak permah menggetarkan jantung Ku, kecuali Aku telah lama dijadikan legitimasi politik belaka. Aku dijadikan symbol dalam bendera-bendera mereka, bahkan jihad-jihad mereka. Ketahuilah wahai para abang becak yang Kucinta, sesungguhny Aku menyertaimu ketika kalian sedang mengayuhkan pedal pedalmu, Aku mengalir diantara peluh keringatmu, bahkan Aku berada diantara nafas-nafas beratmu. Aku sudah lama menyertai kesabaranmu, bahkan terasa bagitu indah doa-doamu, bagai melodi biola gesekan para bidadari Ku.
Oh, Tuhanku, pinta para tukang becak itu lagi. Aku bersama mereka dan berjuta-juta yang lapar, yang tersingkirkan dari nasib keberuntungan sejarah. Sesungguhnya aku masih ingin protes pada wakil-wakilku di Senayan itu. Tiba-tiba mereka jadi bisu, jadi kaku, jadi beku. Apakah karena salju-salju kekuasaan dan uang pendingin telah membungkus tubh dan jiwa mereka? Pasti di akhirat nanti, mereka akan saya paksa untuk menjadi tukang-tukang becak, mengayuh pedal mengantarku ketempat tujuan, ke syurga sana. Gubernur, Walikota, Presiden, Wakil Presiden, Ketua DPR, Ketua MPR dan ketua fraksi-fraksi dan semua kaum senayan itu, wahai Tuhanku, jadikan anak cucu mereka, tukang becak semua.
Suara dari langit menggema lagi, Wahai nafas jiwaKu, Aku mendengar rintihanmu. Aku senantiasa berada di atas pengkuan becakmu. Aku diantra celah celah-celah kerut jidatmu, berada di dalam otot-otot cobaan yg mengaliridarahmu, berada dlam istirahatmu ketika senja tiba dan dinginnya malam menjadi selimutmu. Ingatlah wahai getaran ruhKu, sejarah telah menjadi pelajaran manusia, ketika sejarah hendak menutup buku catatannya dengan su ul khatimahnya, pasti sejarah itu dihuni oleh kaum munafikin, fasikin, kadzibin, dan pendusta lainnya. Seluruh nafasmu, basah keringatmu, ayunan kakimu, akan Kutimbang lebih dibanding darah para pahlawan syuhada.
Suara it terus mengema, bergema dan membentur dinding perbukitan, membentur dinding kemunafikan, merobohkan altar-altar kekuasaan. Wahai tukang becak diseantero bumi Ku, kalianlah yang kelak lebih dahulu masuk syurgaku. Sementara orang-orang yang menikmati keringatmu, meminum darahmu, memperkosa jasadmu, memperdayai nasibmu, akan Ku celup dalam ribuan tahun dalam neraka Ku, akan Ku cuci darah korupsinya, daging manipulasinya, kulit-kulit ambisainya, mulut-mulut kedustaannya, ,mata-mata nanar pesona duniawinya, nafas-nafas kebinatangannya, dalam air mendidih di atas bara api yang dibakar oleh nafsu, dan kekejaman hatinya yg membatu. Begitulah Aku dan KekuasaanKU.
Ribuan wajah tukan becak menunduk, menjenguk hati masing-masing. Ribuan wajah pucat pasi, kehabisan darah masa depannya.
Powered By Blogger

Total Pageviews

Followers