KATA PENGANTAR
Bismillahirraahmaanirraahim
Puji syukur kehadirat Allah SWT , karena atas berkat rahmat serta hidayah-nya semata karya tulis ini dapat terselesaikan . Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga,para sahabat, para penerus perjuangan beliau hingga di akhir zaman. Amin
Karya tulis yang berjudul “ Pernikahan, Thalak, Iddah, dan Rujuk” ini, di susun dalam rangka untuk melengkapi syarat untuk memperbaiki nilai. Saya sadari tanpa bantuan beberapa pihak, saya tidak akan mudah menyelesaikan karya tulis ini tepat pada waktunya.
Untuk itulah, dalam kesempatan ini sangat tepat saya sampaikan ucapan terimah kasih kepada yang terhormat :
1. Rekan-rekan yang tiada jemu memberikan dorongan buat saya dan senantiasa mendo’a kehadirat Ilohi Robbi agar saya berhasil dalam setiap cita,cinta dan karya.
2. Semua sahabat yang telah banyak memberikan dukungan moral dan semangat sehingga karya tulis ini terselesaikan tepat pada waktunya. Serta pada semua pihak yang tidak mungkin saya sebutkan satu per satu.
Saya sadar, bahwa dalam karya tulis ini banyak sekali kekurangan dan kelemahan. Saran dan koreksi demi perbaikan yang semestinya pada karya tulis ini sangat saya harapkan pada semua pihak yang berkenan memperhatikan isi dan penulisannya .
Akhirnya saya berharap mudah-mudahan karya tulis ini bermanfaat bagi para pembaca yang membutuhkannya.
Pinrang maret 2009
Penulis
MUHAMMAD . ILHAM . NUR
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ………………………………………………………………….ii
Daftar isi………………………………………………………………………….iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang…………………………………………………..
1.2 Rumusan Masaalah…………………………………………….
1.3 Tujuan Makalah
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Nikah dan hokum nikah…………………………..
2.2 Persiapan dan pelaksanaan nikah…………………………….
2.3 Hikmah nikah……………………………………………………..
2.4 Pengertian dan hokum talaq………………………………….
2.5 Pembagian dan cara talaq……………………………………..
2.6 Iddah……………………………………………………………..
2.7 Rujuk……………………………………………………………
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan………………………………………………………
3.2 Saran ……………………………………………………………
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pernikahan dalam pandangan Islam adalah sesuatu yang luhur dan sakral, bermakna ibadah kepada Allah, mengikuti Sunnah Rasulullah dan dilaksanakan atas dasar keikhlasan, tanggungjawab, dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang harus diindahkan. Dalam Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I pasal 1, perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan tujuan pernikahan adalah sebagaimana difirmankan Allah s.w.t. dalam surat Ar-Rum ayat 21 “Dan di antara tanda tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang (mawaddah warahmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu menjadi tanda-tanda kebesaran-Nya bagi orang-orang yang berfikir”. Mawaddah warahmah adalah anugerah Allah yang diberikan kepada manusia, ketika manusia melakukan pernikahan. Hal yang demikian tidak disebutkan Allah s.w.t. ketika binatang ternak berpasangan untuk berkembangbiak. Karena tugas selanjutnya bagi manusia dalam lembaga pernikahan adalah untuk membangun peradaban dan menjadi khalifah di dunia (Quraish Shihab dalam Wawasan al-Qur’an: bab pernikahan). Pernikahan tersebut dianggap sah menurut hukum Islam bila telah memenuhi syarat dan rukun pernikahan. Syarat pernikahan adalah (1) persetujuan kedua belah pihak, (2) mahar (mas kawin), (3) tidak boleh melanggar larangan-larangan perkawinan. Sedangkan rukun pernikahan adalah (1) calon suami, (2) calon isteri, (3) wali, (4) saksi dan (5) ijab kabul.
Dari beberapa pemaparan diatas, banyak hal tentang pernikahan yang haris kita ketahui, oleh karna itu kepersembahkan makalah sederhana ini sebagai alat untuk mrngetahui beberapa hal tentang pernikah dan memgaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari kita nantinya.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah makalah ini, yaitu :
- Apa yang dimaksud dengan pernikahan ?
- Apa hokum nikah ?
- Apakah hikmah dari pernikahan ?
- Apa yang dimaksud dengan thalak dan apa hukumnya ?
- Berapa pembagian talak ?
- Bagaimana cara menthalak ?
- Apa itu iddah dan apa saja yang menyangkut dengan iddah ?
- Apa itu rujuk dan apa saja yang menyangkut dengan rujuk
1.3 Tujuan Makalah
Adapun tujuan dari makalah ini yaitu, untuk mengetahui segala hal yang berhubungan dengan pernikahan, thalak, iddah dan rujuk
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Nikah dan hokum nikah
a. Pengertian Nikah
Menurut bahasa (etimologi) berasal dari kata “nakaha” yang berarti : berkumpul, bersetubuh,. Menurut istilah adalah sebagai berikut :
· Nikah adalah aqad antara calon laki-istri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syariat ( Prof Dr. H. yunus : 1)
· Nikah adalah aqad yang telah terkenal dan memenuhi rukun-rukun serta syarat yang telah tertentu untuk berkumpul (Drs. Muh. Rifai : 268).
b. Hukum Nikah
Menurut jumbur ulama (termasuk Imam Syafi’I ) berpendapat bahwa pernikahan itu hukumnya sunnah. Mereka beralasan :
· Bahwa amar ( perintah untuk kawin) dalam ayat 3 surah ann-nisa’ dan sabda Nabi itu merupakan anjuran sunnat bukan anjuran wajib. Karena amar itu merupakan amar irsyad yaitu anjuran untuk kemashlahatan dunia
· Allah menganjurkan di dalam Al-Qur’an bahwa wanita-wanita tua yang tiada perkawinan lagi, maka Allah tidak melarang mereka itu berbuat demikian dan tidak pula menganjurkan perkawinan terhadap mereka itu merupakan perintah sunnat.
· Dalam ayat 39 surah Ali Imran disebutkan bahwa Allah tidak mencela hamba-nya (laki-laki) yang tidak suka pada wanita . ini sebagai bukti bahwa pernikahan di anjurkan kepada orang yang berkeinginan utnuk nikah dan ada pula kemampuannya
Menurut Abu daud serta ulama Dhahiry berpendapat bahwa perkawinan itu hukumnya wajib bagi orang yang kuasa dan mampu.
Mereka beralasan :
· Bahwa amar (perintah) pada ayat 3 surah An-Nisaa dan sabda nabi itu adalah amar wajib.
· Tiap-tiap perintah Allah dan Rasulnya wajib diikuti dan ditaati dan tidak boleh ditakwilkan (putar-balik) kepada yang lain, Pendek kata bahwa pendapat Abu Daud dan Ulama dhariry ini hanya berpegang pada yang lahir yang termaktub saja.
Setengah ulama termasuk Imam Maliki berpendapat bahwa hokum perkawinan itu ada yang wajib, ada yang haram.
· Perkawinan itu wajib bagi seseorang yang takut akan jatuh kelembah kejahatan (zina) serta sanggup dan mampuh nikah.
· Perkawinan itu haram bagi seseorang yang tiada mau menunaikan kewajibannya terhadap istrinya, baik nafkah lahir maupun batin.
Mereka beralasan semata-mata untuk kemashlahatan yang bersangkutan. Inilah dalil yang dinamai masalah-masalah, artinya kemashlahatan muthlak zyakni sesuatu itu hukumnya wajib, sunnat atau haram karena mengingat kemashlahatannya saja. JIka besar kemashlahatannya maka ia haram.
Dari ketiga pendapat tentang hokum pernikahan yang telah dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa pendapat jumbur ulama itu lebih kuat dan lebih mu’tamad (valid) yakni hokum perkawinan itu menurut asalanya dan pada umumnya adalah sunnat.
Dari pada itu, boleh jadi hokum pernikahan itu wajib bagi sebagian orang atau haram bagi sebagian yang lain mengingat keadaan perseorangan.
2.2. Persiapan dan pelaksanaan nikah
a. Persiapan nikah
Keluarga yang sakinah tidak akan tercipta begitu saja, tanpa ada upaya dari kedua pasangan sejak pra-pernikahan. Usaha tersebut dapat dilakukan dalam bentuk pencarian dan menetapkan calon pasangan dengan pertimbangan-pertimbangan yang sesuai dengan ajnjuran Rasulullah.
Kriteria mencari calon pasangan yang dianjurkan oleh Rasulullah diungkapkan dalam hadis nabi berikut :
“Perempuan dinikahi karena empat hal: Karena hartanya, kecantikannya, keturunannya, Piliihlah karena agamanya niscaya kamu akan mendapat keuntungannya,” (HR.Bukhari Muslim dan Tirmizi)
Faktor agama sangat penting dan akan menentukan tercapainya keluarga sakinah yang diharapkan, sebab suami istri yang beragama akan sama-sama memiliki ukuran dan rujukan yang sama, yaitu agama, sehingga jika terjadi perselisihan akan sama-sama memiliki nilai-nilai yang dipegang oleh mereka, yaitu nilai-nilai yang dipegang oleh mereka yaitu nilai-nilai agama.
Perkawinan akan langgeng dan tentram jika terdapat kesesuaian pasangan hidup antara suami dengan istri, karena jangankan perbedaan agama, perbedaan adat atau perbedaan budaya dan pendidikan pun tidak jarang mengakibatkan kegagalan pernikahan
Dalam masa pra-nikah sebaiknya dihindarkan berhubungan dengan orang yang berbeda agama, sebab seorang muslimdiharamkan oleh syariat islam untuk menikah dengan non muslim. Karena pernikahan bukan semata-mata saling mencintai, melainkan memerlukan kesamaan pandangan dasar yang akan menguatkan tali perkawinan sepanjang hayat bahkan pernikahan itu akan langgeng sampai akhirat.
Pertimbangan dalam menentukan pasangan di utamakan dari segi agamanya, yaitu beragama islam dan memiliki sikap keberagamaan yang baik, sikap nberagama dapat dinilai dan konsistensi pelaksanaan ibadahnya, seperti, shalat, puasa dan sebagainya , serta perilaku yang ditampilkannya dalam kehidupan dar pergaulannya sehari-hari.
Dalam persiapannya pihak laki-laki boleh melamar pihak perempuan yang disebut khitbah, yaitu pihak laki-laki menyatakan keinginannya menikahi seorang perempuan. Apabila seorang perempuan telah dilamar oleh seorang laki-laki lain.
2.3. Hikmah Pernikahan
1. Memelihara Derajat Manusia
Manusia sebagai makhluk Allah memiliki kebutuhan-kebutuhan dasar untuk mempertahankan hidupnya, seperti makan dan minum serta memiliki kebutuhan seksual untuk mempertahankan keturunannya. Kebutuhan seksual merupakan kebutuhan dasar yang tidak bias di gantikan dengan yang lain karena itu islam memberikan jalan utnuk menyalurkan kebutuhan tersebut melalui pernikahan. Pengaturan pernikahan merupakan upaya agar manusia dapat memenuhi kebutuhannya tanpa kehilangan derajat kemanusiaannya yang tinggi dan mulia, karena itu dalam pandangan Islam seks bukanlah sesuatu yang kotor atau situasi yang kotor, sebab rasulullah sendiri menganjurkan agar berdoa menjelang hubungan seks dimulai.
Melalui Perkawinann yang sah, seseorang manusia dapat memenuhi kebutuhan biologisnya dengan cara yang berbeda dengan binatang. Penyaluran kebutuhan seks secara bebas merupakan perilaku yang tidak bermoral, padahal manusia adalah makhluk yang mulia, karena itu pernikahan merupakan upaya memelihara kemuliaan manusia sebagai pemegang amanat Allah dimuka bumi.
2. Menjaga garis keturunan
Pernikahan juga berarti memelihara garis keturunan dalam proses regenerasi manusia. Dengan pernikahan dan status-status orang perorang menjadi jelas, istilah suami, istri, ayah ibu, saudara dan sebagainya dapat di tetapkan dengan jelas beserta fungsi dan peranannya masing-masing. Dari sini lahir aturan-aturan yang menentukan hubungan kemanusiaa, seperti aturan kekerabatan, pewarisan, pernikahan dan sebagainya, sehingga aturan-aturan dan molaritas manusia akan terjaga kemualiannya.
Jika pernikahan tidak diatur, maka garis keturunan manusia akan terjaga kemuliannya.
Jika pernikahan tidak di atur, maka garis keturunan manusia akan kacau dan dengan demikian arah kehancuran budaya semakin dekat.
3. Mengembangkan kasih saying
Manusia adalah mahkluk yang di anugrahi Allah rasa kassih saying, karena itu kasih saying merupakan dasar kebutuhan manusia, baik untuk menerima ataupun memberikannya kepadaorang lain. Melalui pernikahan, rasa kasih saying itu akan dapat memiliki dorongan jiwa yang kuat utnuk berinteraksi dan berkreasi dalam kehidupannya ditengah manusia lainnya.
Kasih saying adalah hal yang paling asasi bagi manusia dan pernikahan merupakan tempat yang baik bagi persemaian kasih saying tersebut tanpa merusak nilai-nilai kemanusiaan yang suci.
2.4. Pengertian dan hokum thalak
a. Pengertian Thalak
Talak diambil dari kata ithlaq yang artinya melapaskan atau Irsal memutuskan atau tarkun, meninggalkan, firaaqun perpisahan. Yang dimaksud talak adalah melepaskan ikatan perkawinan dengan lafazh talak atau sebangsanya.
Dalam KHI. Talak adalah ikrar suami dihadapan sidang PA yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.
b. Hukum thalak
Menurut Ibn Qayyim, hak untuk menjatuhkan Thalaq melekat pada orang yang manikahinya. Apabila hak menikahi itu pada suami, hak talaq menjadi hak suami.
Tentang hukum asal talak, kebanyakan para ulama berpendapat bahwa talak itu terlarang, kecuali bila disertai alasan yang benar. Menurut mereka, talak itu kufur (ingkar, merusak, menolak) terhadap nikmat Alloh, sedangkan perkawinan adalah salah satu nikmat dan Alloh dan kufur terhadap nikmat Alloh adalah haram. Oleh karena itu, tidak halal bercerai, kecuali karena darurat.
Mengenai hukum talak, dapat bergeser sesuai dengan perbedaan illatnya (penyebabnya).
Talak menjadi wajib bila dijatuhkan oleh pihak penengah atau hakamain, jika menurut hakamain tersebut, perpecahan antara suami istri adalah sedemikian berat sehingga sangat kecil kemungkinan bahkan tidak sedikitpun terdapat celah-celah kebaikan atau kemaslahatan kalau perkawinan itu dipertahankan.
Talak menjadi haram bila dijatuhkan tanpa alasan yang prinsipil. Talak seperti ini haram karena mengakibatkan kemadaratan bagi istri dan anak.
Talak juga dapat menjadi sunah apabila istri mengabaikan kewajibannya sebagai muslimah, yaitu meninggalkan shalat, puasa dll, sedangkan suami tidak sanggup memaksa untuk menjalankan kewajiban atau suami tidak mampu mendidiknya.
Akibat hukum dari penjatuhan talak, terutama yang berkaitan dengan suami istri adalah terputusnya hubungan suami istri dan hukum-hukum ikutan lainnya, baik bagi suami maupun istri. Akan tetapi mereka masih dapat menyambungnya kembali pada kasus talak raj'i dalam tenggang waktu iddah atau melangsungkan perkawinan kembali ketika masa tenggang waktu itu habis. Hal yang sama juga dilakukan bagi wanita-wanita yang tertalak ba'in shughra.
2.5. Pembagian dan cara thalak
1. Ditinjau Dari Keadaan Istri
a. Talak sunni yaitu talak yang sesuai dengan ketentuan agama, yaitu seorang suami menalak istrinya yang pernah dicampuri dengan sekali talak di masa bersih dan belum didukhul selama bersih tersebut.
b. Talak bid'i yaitu talak yang menyalahi ketentuan agama, misalnya talak yang diucapkan dengan tiga kali talak pada waktu bersamaan, atau menalak istri dalam keadaan haid, atau menalak istri dalam keadaan suci, tetapi sebelumnya telah di dukhul.
2. Ditinjau Dari Berat-Ringannya Akibat
a. Talak raj'i yaitu talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya yang telah dikumpuli, bukan talak yang karena tebusan, bukan pula talak yang ketiga kali. Padatalak ini, si suami dapat kembali kepada istrinya dalam masa issah tanpa melalui perkawinan baru, yaitu pada talak pertama dan kedua. Menurut Ibn Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, Talaq raj'i ialah suatu talak dimana suami memiliki hak untuk merujuk istri tanpa kehendaknya. Dan talak raj'i ini disyaratkan pada istri yang telah digauli. Sebagaimana didasarkan atas firman Alloh: dalam QS. Ath-Thalaq: 1
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)
b. Talak ba'in yaitu jenis talak yang tidak dapat diruju' kembali, kecuali dengan perkawinan baru walaupun dalam masa iddah, seperti talak yang belum di dukhul (menikah tetapi belum disenggamai kemudian ditalak).
- Talak bai'in terbagi dua:
a. Ba'in shughra, talak ini dapat memutuskan ikatan perkawinan, artinya setelah terjadi talak, istri dianggap bebas menentukan pilihannya setelah habis masa iddahnya. Adapun suami pertama bila berkeinginan kembali pada istrinya harus melalui perkawinan baru, baik selama iddah maupun mau menerimanya kembali, seperti talak yang belum dikumpuli, talak karena tebusan (khulu') atau talak satu atau dua kali, tetapi telah habis masa iddahnya.
b. Ba'in kubra, seperti halnya Ba'in shughra, status perkawinan telah terputus dan suami tidak dapat kembali kepada istrinya dalam masa iddah dengan ruju' atau menikah lagi. Namun, dalam hal ba'in kubra ini ada persyaratan khusus, yakni istri harus manikah dahulu dengan laki-laki lain, kemudian suami kedua itu menceraikan istri dan setelah habis masa iddah barulah mantan suami pertama boleh menikahi mantan istrinya.
3. Ditinjau Dari Penyampaian
a. Talak sharih, yaitu talak yang diucapkan dengan jelas, sehingga karena jelasnya, ucapan tersebut tidak dapat diartikan lain, kecuali perpisahan atau perceraian, seperti ucapan "aku talak engkau".
b. Talak kinayah, yaitu ucapan talak yang diucapkan dengan kata-kata yang tidak jelas atau melalui sindiran. Kata-kata tersebut dapat dikatakan lain, seperti ucapan suami "pulanglah kamu".
Talak dengan tulisan, dapat dianggap jatuh meskipun suami yanh menulis surat itu dapat berbicara, dengan syarat: Tulisannya jelas dan tertentu. Contoh: "hai pulanah, engkau saya ceraikan".
Talak dengan isyarat, hanya bagi orang yang bisu dan tidak dapat berbicara. Karena isyarat adalah alat untuk membuat orang lain memahami keinginannya.
Talak dengan mengirim utusan, bilamana istrinya berada ditempat yang jauh. Utusan ini sama kedudukannya dengan suaminya yang menceraikannya.
4. Ditinjau Dari Masa Berlakunya
a. Berlaku seketika, yaitu ucapan suami terhadap istrinya dengan kata-kata talak yang tidak digantungkan pada waktu atau keadaan tertentu. Maka ucapan tersebut berlaku seketika artinya mempunyai kekuatan hukum setelah selesainya pengucapan kata-kata tersebut. Seperti ucapan "engkau tertalak langsung". Maka talak berlaku ketika itu juga.
b. Berlaku untuk waktu tertentu, artinya ucapan talak tersebut digantungkan kepada waktu tertentu atau pada suatu perbuatan istri. Berlakunya talak tersebut sesusai dengan kata-kata yang diucapkan atau perbuatan tersebut benar-benar terjadi. Seperti ucapan uami kepada istrinya, "engkau tertalak bila engkau pergi ke tempat seseorang".
Ø Cara thalak
Talak hanya boleh dijatuhkan kalau memang sangat diperlukan dan merupakan satu-satunya solusi. Itupun setelah melalui usaha-usaha internal maupun eksternal dengan melibatkan hakamain. Talak sebagai emergency exit, baru dibuka kalau memang benar-benar dalam keadaan darurat. Jadi, jelaslah bahwa penjatuhan talaq terkesan dihalangi. Itu pertanda bahwa Islam menghendaki bahwa suatu perkawinan hanya dilaksanakan sekali selama hidup.
Pemerintah dalam hal ini berupaya ke arah yang sama, dengan mengeluarkan UU No 1/74, yang pada prinsipnya berkenaan dengan talak, terkandung harapan agar perceraian itu tidak terlalu mudah jatuh, mengingat esensi nikah yang demikian luhur, maka syari'at islam berusaha menekan Intensitas talak. Oleh karena itu, prinsip penjatuhan talak di PA diupayakan menganut prinsip, menuutp pintu terbuka, yaitu, walaupun talak diperbolehkan, hendaklah pintu tersebut tidaklah dibuka lebar-lebar sehingga dapat dilalui dengan mudah.
2.6. Iddah
a. Pengertian iddah
Iddah ialah masa menunggu yang diwajibkan ke atas seseorang perempuan yang ceraikan oleh suaminya (cerai hidup atau cerai mati), tujuannya, untuk mengetahui samada perempuan itu hamil atau sebaliknya atau untuk menunaikan satu perintah dari Allah.
b. Macam-maca iddah
Iddah terbahagi kepada dua bahagian :
1. Iddah perempuan yang kematian suami.
a. Jika hamil – iddahnya ialah dari tarikh mati suaminya sehingga lahir anak yang dikandungnya itu. Hukum ini berdasarkan firman Allah: Artinya : Perempuan-perempuan yang hamil, iddah mereka ialah sehingga lahir anak yang dikandung oleh mereka. (Surah Talaq : ayat 4)
b. Jika tidak hamil – iddahnya ialah selama empat bulan sepuluh hari, walaupun ia belum pernah disetubuhi atau pun isteri itu masih kanak kanak atau suami yang mati itu masih kanak-kanak. Hukum ini berdasarkan firman Allah : Artinya : Orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu, sedangkan mereka meninggalkan isteri, hendaklah isteri isteri itu beriddah selama empat bulan, sepuluh hari. (Surah Al-Baqarah : ayat 234) Kedua-dua ayat tersebut telah menerangkan hukum yang jelas bagi iddah isteri yang kematian suami, samada isteri yang hamil atau sebaliknya. Tetapi terdapat dua pendapat yang berlainan berhubung dengan iddah perempuan yang kematian suami, sedangkan ia hamil dan anak yang dikandungnya itu lahir sebelum sampai empat bulan sepuluh hari dan tarikh kematian suaminya. Adakah iddahnya selesai dengan lahirnya anak tersebut atau pun iddah akan selesai apabila cukup empat bulan sepuluh hari ?
1. Pendapat Jamhurul Al-Salaf : iddahnya akan habis dan selesai apabila lahir sahaja anak yang dikandung itu, walaupun belum sampai empat bulan sepuluh hari dari tarikh mati suaminya. Ini berdasarkan ayat empat, surah al-Talaq yang lalu.
2. Pendapat yang lain yang diriwayatkan dari Ali : iddahnya ialah mengikut masa mana yang lebih panjang, maksudnya, jika anak yang dikandungnya itu lahir sebelum sampai empat bulan sepuluh hari dari tarikh mati suaminya itu, iddahnya tunggu sehingga genap empat bulan sepuluh hari.
Selain dari itu terdapat juga perselisihan pendapat berhubung dengan iddah perempuan yang kematian suami, sedangkan ia hamil tetapi anak yang dikandungnya itu bukan anak dari suami yang mati, malah hasil dari zina isteri, adakah iddahnya selesai apabila lahir anak yang dikandungnya itu atau pun ia beriddah selama empat bulan sepuluh hari sahaja :
1. Pendapat Al-Syafie – iddahnya dengan kiraan bulan (empat bulan sepuluh hari).
2. Pendapat Abu Hanafiah – iddahnya selesai sehingga lahir anak yang dikandungnya itu.
2. Iddah perempuan yang diceraikan oleh suami (cerai hidup) atau fasakh :
a. Jika hamil – iddahnya selesai apabila lahir sahaja anak yang dikandungnya itu samada hidup atau mati, ini berdasarkan ayat yang lalu. Begitu juga akan selesai iddahnya apabila lahir (gugur) seketul daging yang ada rupa atau bentuk anak Adam, walaupun tak begitu jelas bagi pandangan biasa, tetapi menurut kata-kata bidan yang berpengalaman atau ahli-ahli perubatan bahawa yang lahir itu, itulah yang dikandung oleh perempuan ini, ertinya tidak ada yang lain dari itu.
b. Jika tidak hamil dan perempuan itu dari golongan perempuan yang mempunyai haid- iddahnya ialah tiga kali suci, hukum ini berdasarkan firman Allah : Artinya : perempuan-perempuan yang ditalak, hendaklah mereka beriddah tiga kali suci. (Al-Baqarah : ayat 228) Jika perempuan itu diceraikan di masa suci yang tidak disetubuhi, walaupun hamper masa haid, iddahnya akan selesai sebaik sahaja masuk pada haid yang ketiga, tetapi jika ia diceraikan di waktu sedang haid, iddahnya akan selesai apabila masuk haid yang keempat. Lihat semula bahagian talaq sunni dan bad’i. Iddah perempuan yang mustahdhah (yang keluar darah selain dari darah haid dan nifas) sedangkan ia tahu bilangan hari haid, maksudnya perempuan yang sudah biasa menempuh masa haid sebelum itu – iddahnya ialah tiga kali suci juga, tetapi iddah perempuan yang mustahadhah yang masih belum tahu bilangan masa haidnya dengan tepat, seperti perempuan yang baru sahaja mengalami haid- masa iddahnya dengan kiraan bulan iaitu selama tiga bulan.
c. Jika perempuan yang diceraikan itu masih budak (belum pernah haid) atau atau pun yang telah tua tidak ada haid lagi – iddahnya ialah : selama tiga bulan. Hukum ini berdasarkan firman Allah: Artinya : Perempuan-perempuan tua yang tidak haid lagi dari perempuan perempuan kamu, jika kamu ragu, maka iddahnya tiga bulan begitu juga perempuan-perempuan yang belum pernah haid.
(Al-Talak : ayat 4)
(Al-Talak : ayat 4)
Perempuan yang tidak haid adalah seperti berikut :
1. Yang masih kecil (belum cukup umur)
2. Yang sudah cukup umur tetapi belum pernah haid.
3. Perempuan yang sudah pernah haid tetepi sudah tua dan putus haidnya tak ada lagi.
2.7. Rujuk
A. Pengertian Rujuk
Rujuk menurut bahasa artinya kembali, sedangkan menurut istilah adalah kembalinya seorang suami kepada mantan istrinya dengan perkawinan dalam masa iddah sesudah ditalak raj’i. sebagaimana Firman allah dalam surat al-baqarah : “Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka(para suami) itu menghendaki islah”. (Q.S.Al-Baqarah:228)
B. Pendapat Para Ulama tentang Ruju
Rujuk adalah salah satu hak bagi laki-laki dalam masa idah. Oleh karena itu ia tidak berhak membatalkannya, sekalipun suami missal berkata: “Tidak ada Rujuk bagiku” namun sebenarnya ia tetap mempunyai rujuk. Sebab allah berfirman yang artinya: “Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa penantian itu”. (al-Baqarah:228)Karena rujuk merupakan hak suami, maka untuk merujuknya suami tidak perlu adanya saksi, dan kerelaan mantan istri dan wali. Namun menghadirkan saksi dalam rujuk hukumnya sunnah, karena di khawatirkan apabila kelak istri akan menyangkal rujuknya suami.Rujuk boleh diucapkan, seperti: “saya rujuk kamu”, dan dengan perbuatan misalnya: “menyetubuhinya, merangsangnya, seperti menciummnya dan sentuhan-sentuhan birahi.Imam Syafi;I berpendapat bahwa rujuk hanya diperbolehkan dengan ucapan terang dan jelas dimengerti. Tidak boleh rujuk dengan persetubuhan, ciuman, dan rangsangan-rangsangan nafsu birahi. Menurut Imam Syafi’I bahwa talak itu memutuskan hubungan perkawinan.Ibn Hazm berkata: “Dengan menyetubuhinya bukan berarti merujuknya, sebelum kata rujuk itu di ucapkandan menghadirkan saksi, serta mantan istri diberi tahu terlebih dahulu sebelum masa iddahnya habis.” Menurut Ibn Hazm jika ia merujuk tampa saksi bukan disebut rujuk sebab allah berfirman: Artinya: “Apabila mereka telah mendekati akhir masa iddahnya, maka rujuklah mereka dengan baik dan lepaskanlah meereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu.” (Q.S. At Thalaq: 2C. Syarat dan Rukun Rujuk
1. Syarat Rujuk
a. Imam malik berpendapat bahwa saksi dalam rujuk adalah disunnahkan, sedangkan Imam syafi’I mewajibkan. Perbedaan pendapat ini disebabkan karena pertentangan antara qiyas dengan zahir nas Al-qur’an yaitu: . “…….dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil…..” Ayat tersebut menunjukan wajibnya mendatangkan saksi. Akan tetapi pengkiasan haq rujuk dengan hak-hak lain yang diterima oleh seseorang, menghendaki tidak adanya saksi. Oleh karena itu, penggabungan antara qiyas dengan ayat tersebut adalah dengan membawa perintah pada ayat tersebut sebagai sunnah.
b. Belum habis masa idah
c. Istri tidak di ceraikan dengan talak tiga
d. Talak itu setelah persetubuhan.
dalam surat al-ahzab ayat 49 yang artinya “Hai orang oran yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman kemudian kamu ceraikan sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya maka berikanlah mereka mut’ah dan lepaskanah mereka dengan cara yang sebaik-baiknya.
2. Rukun Rujuk :
2. Rukun Rujuk :
1) Suami yang merujuk
2) Syarat-syarat suami sah merujuk
a) Berakal
b) Baligh
c) Dengan kemauan sendiri
d) sighat (ucapan)
► cara merujuk yang dilakukan suami ada dua cara :
1. dengan cara sharih (jelas), seperti ucapan suami kepada istrinya: ,,saya ruju’ kepadamu”. Ucapan ini harus disertai niat.
2. Dengan ucapan kinayah (sindiran). Seperti ucapan: ,,saya ingin memegang kamu”. Ucapan ini harus disertai niat meruju’
2) Ada istri yang di rujuk
Syarat istri yang di rujuk:
a) Telah di campuri
istri telah dicampuri oleh mantan suami, sebab jika istri belum pernah dicampuri tidak ada iddah dan berarti tidak ada rujuk
b) istri dalam keadaan talak raj’I ,jika ia ditalak dengan talak tiga, maka ia tidak dapat dirujuk lagi.
c)istri masih dalam masa iddah
3) Kedua belah pihak (mantan suami dan mantan istri) sama-sama suka, dan yakin dapat hidup bersama kembali dengan baik.
4) Dengan pernyataan ijab dan qabulSyarat lafadz (ucapan) rujuk:
a) Lafaz yang menunjukkan maksud rujuk, misalnya kata suami “aku rujuk engkau” atau “aku kembalikan engkau kepada nikahku”.
b) Tidak bertaklik — tidak sah rujuk dengan lafaz yang bertaklik, misalnya kata suami “aku rujuk engkau jika engkau mahu”. Rujuk itu tidak sah walaupun ister mengatakan mahu.
c) Tidak terbatas waktu — seperti kata suami “aku rujuk engkau selama sebulan
D. Hukum Rujuk
1. Wajib apabila Suami yang menceraikan salah seorang isteri-isterinya
dan dia belum menyempurnakan pembahagian giliran terhadap isteri yang diceraikan itu.
2. Haram Apabila rujuk itu menjadi sebab mendatangkan kemudaratan kepada isteri tersebut.
3. Makruh Apabila perceraian itu lebih baik diteruskan daripada rujuk.
4. Makruh Apabila perceraian itu lebih baik diteruskan daripada rujuk.
5. Sunat Sekiranya mendatangkan kebaikan
E. Prosedur rujuk
Pasangan mantan suami-istri yang kan melakukan rujuk harus dapat menghadap PPN (pegawai pencatat nikah) atau kepala kantor urusan agama (KUA) yang mewilayahi tempat tinggal istri dengan membawa surat keterangan untuk rujuk dari kepala desa/lurah serta kutipan dari buku pendaftaran talak/cerai atau akta talak/cerai. Adapun prosedurnya adalah sebagaiu berikut:
a. Di hadapan PPN suami mengikrarkan rujuknya kepada istri disaksikan mimimal dua orang saksi.
b. PPN mencatatnya dalam buku pendaftaran rujuk, kemudian membacanya di hadapan suami-istri tersebut serta saksi-saksi, dan selanjutnya masing-masing membubuhkan tanda tangan.
c. PPN membuatkan kutipan buku pendaftaran rujuk rangkap dua dengan nomor dan kode yang sama.
d. Kutipan ddiberikan kepada suami-istri yang rujuk.
e. PPN membuatkan surat keterangan tentang terjadinya rujuk dan dan mengirimnya ke pengadilan agama yang mengeluarkan akta talak yang bersangkutan.
f. Suami-istri dengan membawa kutipan buku pendaftaran rujuk datang ke pengadilan agama tempat terjadinya talak untuk mendapatkan kembali akta nikahnya masing-masing.
g. Pengadilan agama memberikan kutipan akta nikah yang bersangkutan dengan menahan kutipan buku pendaftaran rujuk.
F. Hikmah Rujuk
1. Dapat menyambung semula hubungan suami isteri untuk kepentingan kerukunan numah tangga
2. Membolehkan seseorang berusaha untuk rujuk meskipun telah berlaku perceraian.
3. Membolehkan seseorang berusaha untuk rujuk meskipun telah berlaku perceraian.
No comments:
Post a Comment