Friday, May 20, 2011

Gerakan Mahasiswa Revolusioner:Teori dan Praktek


Rudi Dutshcke, pemimpin mahasiswa Berlin dan sejumlah  tokoh mahasiswa  lainnya di Eropa, telah menjadikan  konsep  menyatunya teori dan praktek (teori dan praktek yang revolusioner  tentunya) sebagai gagasan sentral aktivitas mereka. Ini bukan pilihan  yang sewenang-wenang.  Persatuan teori dan praktek ini dapat  dibilang pelajaran  yang paling berharga dari rekaman sejarah yang  diukir oleh  revolusi-revolusi yang telah berlalu di Eropa, Amerika  dan bagian dunia lainnya
Tradisi  historis yang mengandung gagasan ini  dimulai  dari Babeuf melalui Hegel dan sampai ke Marx. Penaklukan ideologis ini berarti bahwa pembebasan manusia harus diarahkan pada usaha  yang sadar  untuk merombak tatanan masyarakat, untuk mengatasi  sebuah keadaan  di mana manusia didominasi oleh kekuatan ekonomi  pasar yang  buta  dan mulai menggurat nasib dengan  tangannya  sendiri. Aksi  pembebasan  yang sadar ini tidak  dapat dijalankan  secara efektif,  dan  tentunya tidak dapat berhasil,  jika  orang  belum menyadari dan mengenal lingkungan sosial tempatnya hidup, mengen­al  kekuatan  sosial yang harus dihadapinya, dan  kondisi  sosial ekonomi yang umum dari gerakan pembebasan itu.
Sama  seperti persatuan antara teori dan  praktek  merupakan penuntun  yang mendasar bagi setiap gerakan pembebasan saat  ini, begitu  pula Marxisme mengajarkan bahwa revolusi,  revolusi yang sadar,  hanya dapat berhasil jika orang mengerti azas  masyarakat tempatnya hidup, dan mengerti kekuatan pendorong yang menggerak­kan perkembangan sosial ekonomi masyarakat tersebut. Dengan  kata lain,  jika ia tidak mengerti kekuatan yang menggerakkan  evolusi sosial, ia tidak akan sanggup mengubah evolusi itu menjadi sebuah revolusi.  Ini  adalah konsepsi utama yang diberikan  Marxisme kepada gerakan mahasiswa revolusioner di Eropa.
Kita  akan coba melihat bahwa kedua konsep  itu,  menyatunya teori dan praktek, serta sebuah pemahaman Marxis terhadap kondisi obyektif masyarakat, yang telah ada jauh sebelum gerakan mahasis­wa  di Eropa lahir, ditemukan dan disatukan kembali  dalam  aksi-aksi perjuangan mahasiswa Eropa, sebagai hasil dari pengalamannya sendiri.
Gerakan  mahasiswa mulai bermunculan di mana-mana  dan  di Amerika  Serikat pun tidak berbedasebagai perlawanan  terhadap kondisi langsung yang dialami mahasiswa di dalam lembaga akademis mereka, di universitas dan sekolah tinggi. Aspek ini sangat jelas di  dunia  Barat tempat kita hidup,  walaupun keadaannya  sangat berbeda di negara-negara berkembang. Di sana, banyak kekuatan dan keadaan  lain yang mendorong anak muda di universitas atau non-universitas untuk bangkit. Tapi selama dua dekade terakhir, anak muda yang masuk ke universitas di dunia Barat tidak menemukan  di lingkungan rumah, kondisi keluarga atau masyarakat lokalnya alasan-alasan yang mendesak untuk melakukan perlawanan sosial.
Tentunya ada beberapa perkecualian. Komunitas kulit hitam di Amerika  Serikat termasuk di dalam perkecualian itu;  para  buruh imigran  yang  dibayar  rendah di Eropa Barat  juga termasuk  di dalamnya. Bagaimanapun, di kebanyakan negara-negara Barat,  maha­siswa yang berasal dari lingkungan proletariat yang miskin masih menjadi minoritas yang sangat kecil. Mayoritas mahasiswa saat ini berasal dari lingkungan borjuis kecil atau menengah atau golongan penerima  gaji  atau upah yang mendapat bayaran  lumayan.  Ketika memasuki  universitas mereka secara umum  tidak  disiapkan  oleh hidup  yang mereka jalani untuk sampai pada titik pemahaman yang jelas dan  lengkap  tentang  alasan-alasan  perlunya  perlawanan sosial.  Mereka  baru akan memahaminya ketika  berada  di dalam kerangka  universitas. Di sini aku tidak mengacu kepada sejumlah perkecualian  atau  golongan kecil  elemen-elemen  yang  memiliki pengetahuan  politik yang memadai, tapi kepada  massa  mahasiswa secara keseluruhan yang berhadapan dengan sejumlah kondisi,  yang membimbing mereka pada jalan perlawanan
Singkatnya,  ini  sudah mencakup  organisasi,  struktur  dan kurikulum  universitas  yang amat tidak memadai dan  serangkaian fakta  material, sosial dan politik yang dialami  dalam kerangka universitas borjuis, yang semakin tidak dapat ditahan oleh keban­yakan  mahasiswa. Menarik untuk dicatat bahwa para teoretisi dan pendidik  borjuis yang berusaha memahami perlawanan  mahasiswa, harus  memasukkan  sejumlah pernyataan di dalam  analisis mereka terhadap  lingkungan mahasiswa, yang telah lama  mereka  enyahkan dari analisis umum terhadap masyarakat.
Beberapa  hari  yang lalu, ketika berada di  Toronto,  salah satu pendidik Kanada yang terkenal memberikan kuliah umum tentang sebab-sebab terjadinya perlawanan mahasiswa. Menurutnya,  alasan-alasan perlawanan itu "secara mendasar bersifat material.  Bukan berarti bahwa kondisi hidup mereka tidak memuaskan; bukan  karena mereka  diperlakukan  buruh seperti buruh abad XIX.  Tapi  karena secara sosial kita menciptakan sejenis proletariat di universitas yang tidak  berhak berpartisipasi  dalam  menentukan kurikulum, tidak  berhak, setidaknya untuk ikut menentukan kehidupan  mereka sendiri  selama empat, lima atau enam tahun yang mereka habiskan di universitas."Sekalipun aku tidak dapat menerima definisi yang  non-Marxis tentang proletariat di atas, aku berpikir bahwa pengajar  borjuis ini  sebagian  telah menelusuri salah satu akar dari perlawanan mahasiswa.  Struktur universitas borjuis hanyalah  cerminan  dari struktur  hirarki  yang umum dalam masyarakat  borjuis;  keduanya tidak dapat diterima oleh mahasiswa, bahkan oleh tingkat kesadar­an sosial yang sementara ini masih rendah. Kiranya terlalu berle­bihan kalau saat ini juga kita coba membahas akar-akar psikologis dan moral dari gejala itu. Di beberapa negara di Eropa Barat, dan mungkin juga di Amerika Serikat, masyarakat borjuis seperti  yang berkembang selama generasi terakhir ini, selama 25 tahun terakhir telah menghantam banyak elemen di dalam keluarga borjuis. Sebagai anak muda, para mahasiswa pembangkang diajarkan pertama-tama oleh pengalaman  langsung untuk mempertanyakan semua bentuk wewenang, dimulai dengan wewenang orang tuanya.
Hal ini paling terasa di negara seperti Jerman sekarang ini. Jika kalian tahu sesuatu tentang kehidupan di Jerman, atau mempe­lajari cerminannya di dalam kesusastraan Jerman, maka kalian akan tahu  bahwa  sampai Perang Dunia II,  wewenang  paternal  paling sedikit  dipertanyakan  di negara itu.  Kepatuhan  anak  terhadap orang tua telah mendarah daging dalam proses penciptaan masyara­kat (fabric of society). Anak-anak muda Jerman kemudian mengalami rangkaian pengalaman pahit yang dimulai dengan  adanya  generasi orang  tua  di Jerman yang menerima Nazisme,  mendukung  Perang Dingin, dan hidup nyaman dengan asumsi bahwa "kapitalisme rakyat" (disebut  juga ekonomi pasar yang sosial), tidak akan  menghadapi resesi,  krisis dan masalah sosial. Kegagalan yang beruntun  dari dua  atau tiga generasi orang tua seperti itu  kini menghasilkan rasa  jijik  di kalangan anak muda terhadap  wewenang orang  tua mereka.  Perasaan ini membuat anak-anak tersebut,  saat  memasuki universitas,  tidak menerima setiap bentuk wewenang begitu  saja, tanpa perlawanan.
Mereka  pertama-tama berhadapan dengan wewenang  para  dosen dan lembaga-lembaga universitas yang paling tidak dalam  bidang ilmu sosialnyata tidak berhubungan dengan realitas. Pelajaran yang mereka peroleh tidak memberikan analisis ilmiah yang  obyek­tif  tentang apa yang sedang terjadi di dunia atau negara-negara Barat lainnya. Tantangan terhadap wewenang akademis dari  lembaga inilah  yang kemudian cepat bergeser menjadi  tantangan terhadap isi pendidikannya.Sebagai tambahan, di Eropa kondisi material untuk  universi­tas  masih sangat kurang. Terlalu penuh. Ribuan mahasiswa  harus mendengar  dosen-dosen berbicara melalui  sound  system. Mereka tidak  dapat  berbicara dengan dosen-dosen  itu  atau  sedikitnya berhubungan, bertukar pikiran yang normal atau dialog.  Perumahan dan  makanan juga buruk. Faktor-faktor pendukung lainnya  makin menajamkan  kekuatan  pemberontakan mahasiswa.  Tapi,  perlu aku tekanan bahwa dorongan utama untuk melakukan pemberontakan  akan tetap ada, sekalipun persoalan-persoalan di atas telah dibenahi. Struktur  otoriter  dari universitas dan  substansi  yang  sangat lemah  dari  pendidikan, paling tidak dalam bidang  ilmu  sosial, lebih menjadi penyebab ketimbang kondisi material di atas.
Inilah  alasan mengapa usaha-usaha mengadakan  reformasi  di universitas,  yang disorongkan oleh sayap liberal dalam  keadaan-keadaan yang berbeda dalam masyarakat neo-kapitalis barat mungkin menemui kegagalan. Reformasi ini tidak akan  mencapai  tujuannya karena  tidak menyentuh persoalan dasar dari pemberontakan  maha­siswa.  Mereka  tidak berusaha menekan  sebab-sebab  keterasingan mahasiswa, dan sekalipun melakukannya, mereka hanya akan membuat mahasiswa makin terasing.
Lalu apa tujuan reformasi di universitas seperti yang diaju­kan  oleh kaum reformis liberal di dunia barat? Dalam  kenyataan, rancangan  reformasi itu tidak lain untuk  meluruskan  organisasi universitas agar sesuai dengan kepentingan ekonomi  neo-kapitalis dan  masyarakat  neo-kapitalis. Tuan-tuan itu  mengatakan: tentu sangat disayangkan  adanya proletariat akademis;  sayang  sekali begitu  banyak  orang  yang meninggalkan  universitas  dan tidak berhasil  mendapat  pekerjaan. Ini  akan  menimbulkan  ketegangan sosial dan ledakan sosial.
Bagaimana caranya mengatasi persoalan ini? Kita akan  membe­nahinya  dengan reorganisasi universitas dan membagi-bagi  tempat belajar yang ada sesuatu dengan kebutuhan ekonomi  neo-kapitalis. Di  tempat yang memerlukan 100.000 insinyur akan lebih baik  jika dikirim 100.000  insinyur daripada 50.000  orang  sosiolog atau 20.000 filsuf yang tidak akan mendapat pekerjaan yang layak.  Hal seperti inilah yang akan menghentikan pemberontakan mahasiswa.Di bawah ini adalah suatu usaha menempatkan  fungsi  universitas pada  posisi subordinat terhadap kebutuhan langsung dari  ekonomi neo-kapitalis  dan masyarakat. Hal ini akan menggerakkan ketera­singan mahasiswa yang makin besar. Jika reformasi-reformasi  itu dilakukan maka mahasiswa tidak akan menemukan struktur universi­tas  dan pendidikan yang sesuai dengan keinginan  mereka. Mereka bahkan tidak diizinkan memilih karir, bidang studi, dan  disiplin ilmu yang mereka kehendaki dan berhubungan dengan  keahlian  dan kebutuhan  mereka. Mereka akan dipaksa menerima pekerjaan,  disi­plin ilmu dan bidang studi yang berhubungan  dengan kepentingan penguasa  masyarakat  kapitalis,  dan  tidak berhubungan  dengan kebutuhan  mereka sebagai manusia. Jadi dengan reformasi di  uni­versitas, tingkat alienasi yang lebih tinggi pun akan terjadi. Aku tidak mengatakan bahwa kita harus mengabaikan semua reformasi di dalam universitas. Penting dicari beberapa slogan transisional untuk masalah-masalah universitas, sama seperti kaum Marxis  coba mencari  slogan-slogan  transisional dalam  gerakan  sosial  lain dalam sektor apapun. Misalnya, aku tidak mengerti kenapa slogan "student power"  tidak dapat  diangkat di dalam lingkup universitas.  Dalam  masyarakat luas  slogan  ini memang dihindari karena artinya bahwa  sebuah minoritas  kecil menempatkan dirinya sebagai  pemimpin  mayoritas masyarakat. Tapi di dalam universitas slogan "student power" ini, atau  slogan lain yang sejurus dengan ide "self-management"  oleh massa mahasiswa, jelas punya arti dan valid.
Tapi  di sinipun aku akan hati-hati karena banyak  persoalan yang  membuat  universitas berbeda dari  pabrik atau  komunitas produktif lainnya. Tidak benar, seperti dikatakan sebagian teore­tisi SDS Amerika, bahwa mahasiswa itu sama dengan buruh. Kebanya­kan  mahasiswa memang  akan menjadi buruh  atau  sudah setengah buruh.  Mereka dapat dibandingkan dengan orang  yang  magang  di pabrik karena kedudukan mereka sama --dari sudut kerja intelektu­al dengan  orang  magang di pabrik-- dari  sudut  kerja  manual. Mereka  memiliki peranan sosal dan tempat transisional yang  khas dalam  masyarakat.  Karena itu kita  harus hati-hati  merumuskan slogan tentang transisi ini.
Bagaimanapun, kita tidak perlu memperpanjang perdebatan  ini sekarang.  Mari  kita terima saja gagasan "student  power"  atau "student  control" sebagai slogan transisional di dalam kerangka universitas borjuis. Tapi sudah jelas bahwa realisasi slogan  ini yang  tidak akan mungkin bertahan untuk jangka waktu yang lama, tidak  akan mengubah akar-akar alienasi mahasiswa karena  mereka tidak terletak di dalam universitas itu sendiri, melainkan dalam masyarakat secara keseluruhan. Dan kita tidak akan sanggup mengu­bah  sebuah sektor kecil dalam masyarakat borjuis, dalam hal  ini universitas  borjuis,  dan berpikir bahwa  masalah  sosial dapat diatasi  di segmen tertentu tanpa mengubah masalah  sosial  dalam masyarakat sebagai keseluruhan.Selama kapitalisme masih ada, maka terus akan ada kerja yang terasing,  baik  itu kerja manual maupun kerja  intelektual.  Dan karena itu tetap akan ada mahasiswa yang terasing, seperti apapun aksi-aksi kita menghantam kemapanan dalam lingkup universitas.
Sekali  lagi, ini bukan observasi teoretis yang  jatuh  dari langit.  Ini  adalah pelajaran dari pengalaman praktek.  Gerakan mahasiswa Eropa, paling tidak sayap revolusionernya, telah  mela­lui  pengalaman ini di seluruh negara-negara Eropa.  Dalam  garis besar,  gerakan  mahasiswa dimulai dengan  isyu-isyu  kampus  dan dengan  cepat mulai  bergerak  keluar  batas-batas universitas. Gerakan  itu mulai menanggapi masalah-masalah sosial dan  politik yang tidak langsung berhubungan dengan apa yang terjadi di  dalam universitas. Apa yang terjadi di Kolumbia di mana masalah  penin­dasan  komunitas  kulit hitam diangkat  oleh  sejumlah  mahasiswa pemberontak mirip dengan apa yang terjadi dalam gerakan mahasiswa Eropa  Barat,  paling tidak di kalangan elemen  yang  maju,  yang paling  peka terhadap masalah-masalah yang  dihadapi  orang-orang paling tertindas dalam sistem kapitalis dunia.
Mereka  terlibat  dalam  berbagai  aksi  solidaritas  dengan perjuangan  pembebasan revolusioner di  negara-negara  berkembang seperti  Kuba,  Vietnam dan bagian-bagian  tertindas lainnya   Dunia Ketiga. Identifikasi bagian-bagian yang paling sadar  dalam gerakan  mahasiswa di Prancis dengan revolusi Aljazair, dan perjuangan  pembebasan Aljazair dari imperialisme Prancis memainkan peranan besar. Ini mungkin kerangka pertama di mana  diferensiasi politik  yang nyata terjadi di kalangan gerakan  mahasiswa  kiri. Kalangan mahasiswa yang sama kemudian akan mengambil  tempat  di depan  dalam perjuangan mempertahankan revolusi Vietnamm  melawan perang agresi imperialisme Amerika.Di Jerman, simpati kepada orang-orang terjajah dimulai  dari titik yang unik. Gerakan protes mahasiswa yang besar dipicu  oleh aksi  solidaritas dengan buruh, petani dan mahasiswa dari sebuah negara  Dunia Ketiga lainnya, yaitu Iran, saat Shah Iran  berkun­jung ke Berlin.
Para  mahasiswa  pelopor tidak  sekadar  mengidentifikasikan diri  mereka  dengan perjuangan di Aljazair, Kuba  dan  Vietnam: mereka memperlihatkan simpati kepada perjuangan pembebabasan dari apa yang disebut Dunia Ketiga secara keseluruhan. Perkembangannya dimulai dari sini. Di Prancis, Jerman, Italia --dan proses  yang sama sedang berlangsung di Inggris-- tidak akan mungkin  memulai aksi  yang  revolusioner tanpa analisis teori tentang  asas dari imperialisme, kolonialisme, dan kekuatan-kekuatan yang  mendorong eksploitasi Dunia Ketiga dengan imperialisme, dan di sisi  lain, kekuatan yang mendorong perjuangan pembebasan massa yang  revolu­sioner menentang imperialisme.Melalui  analisis  tentang  kolonialisme  dan imperialisme kekuatan gerakan mahasiswa Eropa yang paling maju dan  terorgani­sir kembali kepada titik di mana Marxisme dimulai, yakni analisis tentang  masyarakat kapitalis dan sistem kapitalis  internasional di  mana  kita hidup. Jika kita tidak memahami sistem  ini,  kita tidak akan dapat memahami alasan dilakukannya perang kolonial dan gerakan pembebasan di negeri jajahan. Kita juga tidak akan dapat mengerti  kenapa kita harus mengikatkan  diri kepada kekuatan-kekuatan ini di tingkat dunia.Di  Jerman misalnya, proses ini terjadi dalam  waktu  kurang dari enam bulan. Gerakan mahasiswa dimulai dengan mempertanyakan struktur  universitas  yang otoriter, dan  terus menuju masalah imperialisme  dan keadaan Dunia Ketiga, dan dengan menghubungkan diri dengan gerakan pembebasan maja timbul kebutuhan menganalisis kembali neo-kapitalisme di tingkat dunia dan di negeri  di mana mahasiswa-mahasiswa  Jerman itu bergerak. Mereka  kembali kepada titik awal analisis Marxis tentang masyarakat di mana kita hidup untuk  memahami  alasan-alasan terdalam dari masalah  sosial  dan perlawanan.

No comments:

Post a Comment

Powered By Blogger

Total Pageviews

Followers