Laman

Friday, May 20, 2011

REFORMASI HUKUM : PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN


Sepuluh tahun bergulirnya reformasi, penegakan hukum beberapa tahun belakangan ini dapat kita rasalan walaupun setengah hati. Perubahan sistem dan munculnya lembaga-lembaga baru memberikan pergeseran-pergeseran positif dari kondisi hukum yang selama ini tidak tegas, saat ini mengarah pada ketegasan, walaupun acap kali partai paolitik mengintervensi proses penegakan hukum tersebut. Munculnya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) membuat pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pembuat Undang-undang tidak lagi bisa semena-mena dan sewenang-wenang, karena Undang-undang yang mereka buat dapat si yudisial review, sehingga etika dan kebijakan politik tersebut bisa diminimalisir.

Kemudian, hakim yang selama ini bisa berkolusi dengan kekuasaan dikontrol oleh Komisi Yudisial (KY), sehingga etika dan kebijakan yang diambil oleh hakim yang tidak adil akan diproses oleh Komisi Yidusial. Beberapa waktu sistem ini berjalan dan cukup signifikan. Dalam upaya mengembalikan uang negara yang dibawa lari oleh koruptor, dan menangkap koruptor yang merugikan negara, ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebagai lembaga super body,  KPK menjadi momok tersendiri oleh sebab kiprahnya dalam membongkar beberapa kasus pejabat tinggi negara, pejabat elit daerah, politisi, maupun pengusaha.

Hal tersebut tentunya haruslah disambut baik oleh agar tatanan kehidupan masyarakat berjalan dengan adil, kuncinya adalah “para aparat penegakan hukumnnya bersih, loyal tergadap negara, profesional dan bertanggung jawab, maka perilaku masyarakat kita akan mengikuti perilaku aparat negara tersebut, karena masyarakat kita menganut patronage.

Di sisi lain untuk mengantisipasi monopoli dalam perekonomian negara pemerintah membentuk KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) yang beberapa waktu ini menjadi lembaga yang cukup kapabel menangani kasus penjualan kapal tanker, menggugat telkomsel dan indosat yang memonopoli jaringan komunikasi di Indonesia. Banyak lagi lembaga think-thank yang yang dibentuk pemerintah sebagai ijtihad perbaikan kondisi negara Indonesia dari penyakit akhlak dan moralnya. Perubahan tatanan hukum yang berlangsung selama ini terus berjalan dengan baik. Dalam konteks ini tentunya menjadi jawaban tersendiri, apakah reformasi hukum sudah berjalan seperti yang diharapkan, atau hanya kebijakan lip servic, hanya sekedar perbaikan citra penegak hukum di Indonesia, jika perubahan sistem ketatanegaraan ini berjalan dengan konsisten dan suistainable sesuai dengan esensi dan prinsipnya, maka akan terciptanya kepemimpinan yang tertib, mandiri dan martabat.                   

Gerakan Mahasiswa Revolusioner:Teori dan Praktek


Rudi Dutshcke, pemimpin mahasiswa Berlin dan sejumlah  tokoh mahasiswa  lainnya di Eropa, telah menjadikan  konsep  menyatunya teori dan praktek (teori dan praktek yang revolusioner  tentunya) sebagai gagasan sentral aktivitas mereka. Ini bukan pilihan  yang sewenang-wenang.  Persatuan teori dan praktek ini dapat  dibilang pelajaran  yang paling berharga dari rekaman sejarah yang  diukir oleh  revolusi-revolusi yang telah berlalu di Eropa, Amerika  dan bagian dunia lainnya
Tradisi  historis yang mengandung gagasan ini  dimulai  dari Babeuf melalui Hegel dan sampai ke Marx. Penaklukan ideologis ini berarti bahwa pembebasan manusia harus diarahkan pada usaha  yang sadar  untuk merombak tatanan masyarakat, untuk mengatasi  sebuah keadaan  di mana manusia didominasi oleh kekuatan ekonomi  pasar yang  buta  dan mulai menggurat nasib dengan  tangannya  sendiri. Aksi  pembebasan  yang sadar ini tidak  dapat dijalankan  secara efektif,  dan  tentunya tidak dapat berhasil,  jika  orang  belum menyadari dan mengenal lingkungan sosial tempatnya hidup, mengen­al  kekuatan  sosial yang harus dihadapinya, dan  kondisi  sosial ekonomi yang umum dari gerakan pembebasan itu.
Sama  seperti persatuan antara teori dan  praktek  merupakan penuntun  yang mendasar bagi setiap gerakan pembebasan saat  ini, begitu  pula Marxisme mengajarkan bahwa revolusi,  revolusi yang sadar,  hanya dapat berhasil jika orang mengerti azas  masyarakat tempatnya hidup, dan mengerti kekuatan pendorong yang menggerak­kan perkembangan sosial ekonomi masyarakat tersebut. Dengan  kata lain,  jika ia tidak mengerti kekuatan yang menggerakkan  evolusi sosial, ia tidak akan sanggup mengubah evolusi itu menjadi sebuah revolusi.  Ini  adalah konsepsi utama yang diberikan  Marxisme kepada gerakan mahasiswa revolusioner di Eropa.
Kita  akan coba melihat bahwa kedua konsep  itu,  menyatunya teori dan praktek, serta sebuah pemahaman Marxis terhadap kondisi obyektif masyarakat, yang telah ada jauh sebelum gerakan mahasis­wa  di Eropa lahir, ditemukan dan disatukan kembali  dalam  aksi-aksi perjuangan mahasiswa Eropa, sebagai hasil dari pengalamannya sendiri.
Gerakan  mahasiswa mulai bermunculan di mana-mana  dan  di Amerika  Serikat pun tidak berbedasebagai perlawanan  terhadap kondisi langsung yang dialami mahasiswa di dalam lembaga akademis mereka, di universitas dan sekolah tinggi. Aspek ini sangat jelas di  dunia  Barat tempat kita hidup,  walaupun keadaannya  sangat berbeda di negara-negara berkembang. Di sana, banyak kekuatan dan keadaan  lain yang mendorong anak muda di universitas atau non-universitas untuk bangkit. Tapi selama dua dekade terakhir, anak muda yang masuk ke universitas di dunia Barat tidak menemukan  di lingkungan rumah, kondisi keluarga atau masyarakat lokalnya alasan-alasan yang mendesak untuk melakukan perlawanan sosial.
Tentunya ada beberapa perkecualian. Komunitas kulit hitam di Amerika  Serikat termasuk di dalam perkecualian itu;  para  buruh imigran  yang  dibayar  rendah di Eropa Barat  juga termasuk  di dalamnya. Bagaimanapun, di kebanyakan negara-negara Barat,  maha­siswa yang berasal dari lingkungan proletariat yang miskin masih menjadi minoritas yang sangat kecil. Mayoritas mahasiswa saat ini berasal dari lingkungan borjuis kecil atau menengah atau golongan penerima  gaji  atau upah yang mendapat bayaran  lumayan.  Ketika memasuki  universitas mereka secara umum  tidak  disiapkan  oleh hidup  yang mereka jalani untuk sampai pada titik pemahaman yang jelas dan  lengkap  tentang  alasan-alasan  perlunya  perlawanan sosial.  Mereka  baru akan memahaminya ketika  berada  di dalam kerangka  universitas. Di sini aku tidak mengacu kepada sejumlah perkecualian  atau  golongan kecil  elemen-elemen  yang  memiliki pengetahuan  politik yang memadai, tapi kepada  massa  mahasiswa secara keseluruhan yang berhadapan dengan sejumlah kondisi,  yang membimbing mereka pada jalan perlawanan
Singkatnya,  ini  sudah mencakup  organisasi,  struktur  dan kurikulum  universitas  yang amat tidak memadai dan  serangkaian fakta  material, sosial dan politik yang dialami  dalam kerangka universitas borjuis, yang semakin tidak dapat ditahan oleh keban­yakan  mahasiswa. Menarik untuk dicatat bahwa para teoretisi dan pendidik  borjuis yang berusaha memahami perlawanan  mahasiswa, harus  memasukkan  sejumlah pernyataan di dalam  analisis mereka terhadap  lingkungan mahasiswa, yang telah lama  mereka  enyahkan dari analisis umum terhadap masyarakat.
Beberapa  hari  yang lalu, ketika berada di  Toronto,  salah satu pendidik Kanada yang terkenal memberikan kuliah umum tentang sebab-sebab terjadinya perlawanan mahasiswa. Menurutnya,  alasan-alasan perlawanan itu "secara mendasar bersifat material.  Bukan berarti bahwa kondisi hidup mereka tidak memuaskan; bukan  karena mereka  diperlakukan  buruh seperti buruh abad XIX.  Tapi  karena secara sosial kita menciptakan sejenis proletariat di universitas yang tidak  berhak berpartisipasi  dalam  menentukan kurikulum, tidak  berhak, setidaknya untuk ikut menentukan kehidupan  mereka sendiri  selama empat, lima atau enam tahun yang mereka habiskan di universitas."Sekalipun aku tidak dapat menerima definisi yang  non-Marxis tentang proletariat di atas, aku berpikir bahwa pengajar  borjuis ini  sebagian  telah menelusuri salah satu akar dari perlawanan mahasiswa.  Struktur universitas borjuis hanyalah  cerminan  dari struktur  hirarki  yang umum dalam masyarakat  borjuis;  keduanya tidak dapat diterima oleh mahasiswa, bahkan oleh tingkat kesadar­an sosial yang sementara ini masih rendah. Kiranya terlalu berle­bihan kalau saat ini juga kita coba membahas akar-akar psikologis dan moral dari gejala itu. Di beberapa negara di Eropa Barat, dan mungkin juga di Amerika Serikat, masyarakat borjuis seperti  yang berkembang selama generasi terakhir ini, selama 25 tahun terakhir telah menghantam banyak elemen di dalam keluarga borjuis. Sebagai anak muda, para mahasiswa pembangkang diajarkan pertama-tama oleh pengalaman  langsung untuk mempertanyakan semua bentuk wewenang, dimulai dengan wewenang orang tuanya.
Hal ini paling terasa di negara seperti Jerman sekarang ini. Jika kalian tahu sesuatu tentang kehidupan di Jerman, atau mempe­lajari cerminannya di dalam kesusastraan Jerman, maka kalian akan tahu  bahwa  sampai Perang Dunia II,  wewenang  paternal  paling sedikit  dipertanyakan  di negara itu.  Kepatuhan  anak  terhadap orang tua telah mendarah daging dalam proses penciptaan masyara­kat (fabric of society). Anak-anak muda Jerman kemudian mengalami rangkaian pengalaman pahit yang dimulai dengan  adanya  generasi orang  tua  di Jerman yang menerima Nazisme,  mendukung  Perang Dingin, dan hidup nyaman dengan asumsi bahwa "kapitalisme rakyat" (disebut  juga ekonomi pasar yang sosial), tidak akan  menghadapi resesi,  krisis dan masalah sosial. Kegagalan yang beruntun  dari dua  atau tiga generasi orang tua seperti itu  kini menghasilkan rasa  jijik  di kalangan anak muda terhadap  wewenang orang  tua mereka.  Perasaan ini membuat anak-anak tersebut,  saat  memasuki universitas,  tidak menerima setiap bentuk wewenang begitu  saja, tanpa perlawanan.
Mereka  pertama-tama berhadapan dengan wewenang  para  dosen dan lembaga-lembaga universitas yang paling tidak dalam  bidang ilmu sosialnyata tidak berhubungan dengan realitas. Pelajaran yang mereka peroleh tidak memberikan analisis ilmiah yang  obyek­tif  tentang apa yang sedang terjadi di dunia atau negara-negara Barat lainnya. Tantangan terhadap wewenang akademis dari  lembaga inilah  yang kemudian cepat bergeser menjadi  tantangan terhadap isi pendidikannya.Sebagai tambahan, di Eropa kondisi material untuk  universi­tas  masih sangat kurang. Terlalu penuh. Ribuan mahasiswa  harus mendengar  dosen-dosen berbicara melalui  sound  system. Mereka tidak  dapat  berbicara dengan dosen-dosen  itu  atau  sedikitnya berhubungan, bertukar pikiran yang normal atau dialog.  Perumahan dan  makanan juga buruk. Faktor-faktor pendukung lainnya  makin menajamkan  kekuatan  pemberontakan mahasiswa.  Tapi,  perlu aku tekanan bahwa dorongan utama untuk melakukan pemberontakan  akan tetap ada, sekalipun persoalan-persoalan di atas telah dibenahi. Struktur  otoriter  dari universitas dan  substansi  yang  sangat lemah  dari  pendidikan, paling tidak dalam bidang  ilmu  sosial, lebih menjadi penyebab ketimbang kondisi material di atas.
Inilah  alasan mengapa usaha-usaha mengadakan  reformasi  di universitas,  yang disorongkan oleh sayap liberal dalam  keadaan-keadaan yang berbeda dalam masyarakat neo-kapitalis barat mungkin menemui kegagalan. Reformasi ini tidak akan  mencapai  tujuannya karena  tidak menyentuh persoalan dasar dari pemberontakan  maha­siswa.  Mereka  tidak berusaha menekan  sebab-sebab  keterasingan mahasiswa, dan sekalipun melakukannya, mereka hanya akan membuat mahasiswa makin terasing.
Lalu apa tujuan reformasi di universitas seperti yang diaju­kan  oleh kaum reformis liberal di dunia barat? Dalam  kenyataan, rancangan  reformasi itu tidak lain untuk  meluruskan  organisasi universitas agar sesuai dengan kepentingan ekonomi  neo-kapitalis dan  masyarakat  neo-kapitalis. Tuan-tuan itu  mengatakan: tentu sangat disayangkan  adanya proletariat akademis;  sayang  sekali begitu  banyak  orang  yang meninggalkan  universitas  dan tidak berhasil  mendapat  pekerjaan. Ini  akan  menimbulkan  ketegangan sosial dan ledakan sosial.
Bagaimana caranya mengatasi persoalan ini? Kita akan  membe­nahinya  dengan reorganisasi universitas dan membagi-bagi  tempat belajar yang ada sesuatu dengan kebutuhan ekonomi  neo-kapitalis. Di  tempat yang memerlukan 100.000 insinyur akan lebih baik  jika dikirim 100.000  insinyur daripada 50.000  orang  sosiolog atau 20.000 filsuf yang tidak akan mendapat pekerjaan yang layak.  Hal seperti inilah yang akan menghentikan pemberontakan mahasiswa.Di bawah ini adalah suatu usaha menempatkan  fungsi  universitas pada  posisi subordinat terhadap kebutuhan langsung dari  ekonomi neo-kapitalis  dan masyarakat. Hal ini akan menggerakkan ketera­singan mahasiswa yang makin besar. Jika reformasi-reformasi  itu dilakukan maka mahasiswa tidak akan menemukan struktur universi­tas  dan pendidikan yang sesuai dengan keinginan  mereka. Mereka bahkan tidak diizinkan memilih karir, bidang studi, dan  disiplin ilmu yang mereka kehendaki dan berhubungan dengan  keahlian  dan kebutuhan  mereka. Mereka akan dipaksa menerima pekerjaan,  disi­plin ilmu dan bidang studi yang berhubungan  dengan kepentingan penguasa  masyarakat  kapitalis,  dan  tidak berhubungan  dengan kebutuhan  mereka sebagai manusia. Jadi dengan reformasi di  uni­versitas, tingkat alienasi yang lebih tinggi pun akan terjadi. Aku tidak mengatakan bahwa kita harus mengabaikan semua reformasi di dalam universitas. Penting dicari beberapa slogan transisional untuk masalah-masalah universitas, sama seperti kaum Marxis  coba mencari  slogan-slogan  transisional dalam  gerakan  sosial  lain dalam sektor apapun. Misalnya, aku tidak mengerti kenapa slogan "student power"  tidak dapat  diangkat di dalam lingkup universitas.  Dalam  masyarakat luas  slogan  ini memang dihindari karena artinya bahwa  sebuah minoritas  kecil menempatkan dirinya sebagai  pemimpin  mayoritas masyarakat. Tapi di dalam universitas slogan "student power" ini, atau  slogan lain yang sejurus dengan ide "self-management"  oleh massa mahasiswa, jelas punya arti dan valid.
Tapi  di sinipun aku akan hati-hati karena banyak  persoalan yang  membuat  universitas berbeda dari  pabrik atau  komunitas produktif lainnya. Tidak benar, seperti dikatakan sebagian teore­tisi SDS Amerika, bahwa mahasiswa itu sama dengan buruh. Kebanya­kan  mahasiswa memang  akan menjadi buruh  atau  sudah setengah buruh.  Mereka dapat dibandingkan dengan orang  yang  magang  di pabrik karena kedudukan mereka sama --dari sudut kerja intelektu­al dengan  orang  magang di pabrik-- dari  sudut  kerja  manual. Mereka  memiliki peranan sosal dan tempat transisional yang  khas dalam  masyarakat.  Karena itu kita  harus hati-hati  merumuskan slogan tentang transisi ini.
Bagaimanapun, kita tidak perlu memperpanjang perdebatan  ini sekarang.  Mari  kita terima saja gagasan "student  power"  atau "student  control" sebagai slogan transisional di dalam kerangka universitas borjuis. Tapi sudah jelas bahwa realisasi slogan  ini yang  tidak akan mungkin bertahan untuk jangka waktu yang lama, tidak  akan mengubah akar-akar alienasi mahasiswa karena  mereka tidak terletak di dalam universitas itu sendiri, melainkan dalam masyarakat secara keseluruhan. Dan kita tidak akan sanggup mengu­bah  sebuah sektor kecil dalam masyarakat borjuis, dalam hal  ini universitas  borjuis,  dan berpikir bahwa  masalah  sosial dapat diatasi  di segmen tertentu tanpa mengubah masalah  sosial  dalam masyarakat sebagai keseluruhan.Selama kapitalisme masih ada, maka terus akan ada kerja yang terasing,  baik  itu kerja manual maupun kerja  intelektual.  Dan karena itu tetap akan ada mahasiswa yang terasing, seperti apapun aksi-aksi kita menghantam kemapanan dalam lingkup universitas.
Sekali  lagi, ini bukan observasi teoretis yang  jatuh  dari langit.  Ini  adalah pelajaran dari pengalaman praktek.  Gerakan mahasiswa Eropa, paling tidak sayap revolusionernya, telah  mela­lui  pengalaman ini di seluruh negara-negara Eropa.  Dalam  garis besar,  gerakan  mahasiswa dimulai dengan  isyu-isyu  kampus  dan dengan  cepat mulai  bergerak  keluar  batas-batas universitas. Gerakan  itu mulai menanggapi masalah-masalah sosial dan  politik yang tidak langsung berhubungan dengan apa yang terjadi di  dalam universitas. Apa yang terjadi di Kolumbia di mana masalah  penin­dasan  komunitas  kulit hitam diangkat  oleh  sejumlah  mahasiswa pemberontak mirip dengan apa yang terjadi dalam gerakan mahasiswa Eropa  Barat,  paling tidak di kalangan elemen  yang  maju,  yang paling  peka terhadap masalah-masalah yang  dihadapi  orang-orang paling tertindas dalam sistem kapitalis dunia.
Mereka  terlibat  dalam  berbagai  aksi  solidaritas  dengan perjuangan  pembebasan revolusioner di  negara-negara  berkembang seperti  Kuba,  Vietnam dan bagian-bagian  tertindas lainnya   Dunia Ketiga. Identifikasi bagian-bagian yang paling sadar  dalam gerakan  mahasiswa di Prancis dengan revolusi Aljazair, dan perjuangan  pembebasan Aljazair dari imperialisme Prancis memainkan peranan besar. Ini mungkin kerangka pertama di mana  diferensiasi politik  yang nyata terjadi di kalangan gerakan  mahasiswa  kiri. Kalangan mahasiswa yang sama kemudian akan mengambil  tempat  di depan  dalam perjuangan mempertahankan revolusi Vietnamm  melawan perang agresi imperialisme Amerika.Di Jerman, simpati kepada orang-orang terjajah dimulai  dari titik yang unik. Gerakan protes mahasiswa yang besar dipicu  oleh aksi  solidaritas dengan buruh, petani dan mahasiswa dari sebuah negara  Dunia Ketiga lainnya, yaitu Iran, saat Shah Iran  berkun­jung ke Berlin.
Para  mahasiswa  pelopor tidak  sekadar  mengidentifikasikan diri  mereka  dengan perjuangan di Aljazair, Kuba  dan  Vietnam: mereka memperlihatkan simpati kepada perjuangan pembebabasan dari apa yang disebut Dunia Ketiga secara keseluruhan. Perkembangannya dimulai dari sini. Di Prancis, Jerman, Italia --dan proses  yang sama sedang berlangsung di Inggris-- tidak akan mungkin  memulai aksi  yang  revolusioner tanpa analisis teori tentang  asas dari imperialisme, kolonialisme, dan kekuatan-kekuatan yang  mendorong eksploitasi Dunia Ketiga dengan imperialisme, dan di sisi  lain, kekuatan yang mendorong perjuangan pembebasan massa yang  revolu­sioner menentang imperialisme.Melalui  analisis  tentang  kolonialisme  dan imperialisme kekuatan gerakan mahasiswa Eropa yang paling maju dan  terorgani­sir kembali kepada titik di mana Marxisme dimulai, yakni analisis tentang  masyarakat kapitalis dan sistem kapitalis  internasional di  mana  kita hidup. Jika kita tidak memahami sistem  ini,  kita tidak akan dapat memahami alasan dilakukannya perang kolonial dan gerakan pembebasan di negeri jajahan. Kita juga tidak akan dapat mengerti  kenapa kita harus mengikatkan  diri kepada kekuatan-kekuatan ini di tingkat dunia.Di  Jerman misalnya, proses ini terjadi dalam  waktu  kurang dari enam bulan. Gerakan mahasiswa dimulai dengan mempertanyakan struktur  universitas  yang otoriter, dan  terus menuju masalah imperialisme  dan keadaan Dunia Ketiga, dan dengan menghubungkan diri dengan gerakan pembebasan maja timbul kebutuhan menganalisis kembali neo-kapitalisme di tingkat dunia dan di negeri  di mana mahasiswa-mahasiswa  Jerman itu bergerak. Mereka  kembali kepada titik awal analisis Marxis tentang masyarakat di mana kita hidup untuk  memahami  alasan-alasan terdalam dari masalah  sosial  dan perlawanan.

GERAKAN MAHASISWA INDONESIA


Sejarah Gerakan Mahasiswa di Indonesia tidak banyak berbeda dengan sejarah Gerakan Mahasiswa pada umumnya dibelahan dunia manapun. Gerakan Mahasiswa yang didominasi oleh para pemuda yang memiliki watak orang muda yaitu menginginkan perubahan. Dan lahirnya Gerakan Mahasiswa itu tidak dengan perencanaan sebelumnya yang matang, melainkan banyak dikarenakan adanya momentum politik di Indonesia. Pembuktian sejarah gerakan mahasiswa Indonesia sesuai dengan konteks  zamannya, haruslah memberikan kesimpulan apakah  gerakan tersebut, dalam orientasi dan tindakan politiknya,  benar-benar mengarah dan bersandar pada problem-problem dan kebutuhan  struk­tural rakyat Indonesia. Orientasi dan tindakan politik  merupakan cermin dari bagaimana mahasiswa Indonesia memahami masyarakatnya, menentukan pemihakan pada rakyatnya serta kecakapan merealisasi nilai-nilai tujuan atau ideologinya.
                                                                       
Nilai  lebih  organisasi dalam  gerakan  mahasiswa hanyalah bermakna  bahwa  di dalam  organisasi,  mahasiswa ditempa   dan dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.     Pemahaman terhadap masyarakat dan persoalan-persoalannya.
2.     Pemihakan pada rakyat.
3.     Kecakapan-kecakapan dalam mengolah massa.

Ketiga syarat tersebut mencerminkan:
1.     Tujuan dan orientasi gerakan mahasiswa.
2.     Metodologi gerakan mahasiswa.
3.     Strukturalisasi  sumber daya manusia, logistik  dan keuangan gerakan mahasiswa, dan
4.     Program-program  gerakan mahasiswa yang  bermakna strategis-taktis.

ILUSTRASI TENTANG PERKEMBANGAN GERAKAN MAHASISWA

Murid-murid STOVIA mencoba memulai gerakan dengan mendirikan Trikoro  Dharmo pada tahun 1915. Organisasi-organisasi  yang  tumbuh  kemudian adalah   juga organisasi  pemuda kedaerahan (Jong Sumatera, Jong Celebes,  Jong Minahasa,  dsb.) dan  belum tercipta  konsolidasi.  Baru  dengan prakarsa  Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI),  beberapa organisasi kedaerahan dilebur menjadi Indonesia Muda  (IM)  pada tahun 1930.
Tahun 1915-1930 merupakan waktu yang cukup panjang bagi pemuda dan pelajar  untuk  memilki penjelasan  yang  lebih  jernih  tentang nasionalisme yang melekat pada organisasi  Indonesia Muda dan melepaskan dirinya  dari  keorganisasian  sektarian  pemuda  dan mahasiswa  guna mempertajam orientasi anti-kolonial. Selain  itu juga  gerakan  ini  telah melewati  masa-masa sulit:  kelumpuhan pergerakan  nasional  akibat pemerintahan kolonial  yang  semakin represif,   setelah pemberontakan  PKI  1926  dan   1927   serta pemogokan-pemogokan buruh.
Di dalam kondisi kelumpuhan pergerakan nasional seperti  itu muncullah  alternatif  Kelompok Studi (Studie-studie Club)  yang politis dilihat   dari  orientasi dan tindakan   politiknya. Analisa  terhadap  Studie Club jelas  memberikan kesimpulan bahwa  kondisi obyektif ekonomi politik pada saat  itu politik kolonial yang semakin represif, yang kemudian  berubah  menjadi liberal  karena  perubahan status  ekonomi Belanda  dan  Hindia Belanda dapat direspon dan distimulasi oleh kondisi  subyektif studie club yang bertransformasi menjadi sebuah partai.
Pada masa penjajahan Jepang organisasi pemuda yang ada dibubarkan  dan  pemuda dimasukkan ke dalam;   Seinen dan Keibodan(Barisan Pelopor)  dan PETA (Pembela Tanah Air) untuk  dididik politik untuk kepentingan fasisme. Yang  menjadi topik menarik pada jaman ini adalah  ramainya bermunculan  Gerakan Bawah Tanah (GBT) dengan rapat-rapat  gelap, dan  penyebaran  pamflet. GBT ini dikombinasikan  dengan gerakan  legal Sukarno; merupakan jalan keluar yang  logis  bagi perlawanan anti fasis. Suatu jalan keluar yang mencekam dan tidak memassa. Tingkat kesadaran massa untuk mengambil jalan keluar ini belum mencapai tingkat yang revolusioner.
              Masa 1945-1950 merupakan momentum yang penting dalam gerakan pemuda   dan  pelajar:  selain melucuti  senjata Jepang,   juga memunculkan   organisasi-organisasi  seperti:   Angkatan   Pemuda Indonesia (API), Pemuda Republik Indonesia (PRI), Gerakan  Pemuda Republik  Indonesia  (GERPRI),  Ikatan  Pelajar Indonesia (IPI), Pemuda Putri Indoensia (PPI) dan banyak lagi. Pada  saat  belum ada organisasi pemuda  dan pelajar,  yang berbentuk   federasi,  diselenggarakan  Kongres  Pemuda seluruh Indonesia  I (1945) dan II (1946). Dan Gerakan Pemudalah yang berhasil mendesak Soekarno-Hatta melalui penculikan untuk segera memproklamirkan Kemerdekaan RI.
               Periode   Demokrasi   Liberal   1950-1959 ternyata   tidak memberikan   pendidikan  politik  yang berarti  bagi mahasiwa. Pertemuan  Majelis Permusyawaratan  Mahasiswa (MPM)  dalam  bulan Desember   1955   di  Bogor PPMI memutuskan   untuk menarik keanggotaannya   dari FPI. Dengan  demikian jelaslah   bahwa keanggotaan PPMI dan FPI yang secara sosiologis dapat  memberikan dimensi lingkungan sosial yang lebih luas, dihindari oleh gerakan mahasiswa. Mahasiswa justru  melumpuhkan  akstivitas   politik mereka.  Kemudian  membius diri dengan slogan-slogan "Kebebasan Akademik"  dan "Kembali ke Kampus". Mahasiswa lebih  aktiv  dalam kegitan rekreatif, perploncoan, dan mencari dana.
Persiapan  Pemilu  1955 gerakan mahasiswa kembali mendapat  momentumnnya. Pada saat  itu  berdiri organisasi mahasiswa   yang berafiliasi ke  partai,  seperti  Gerakan  Mahasiswa   Nasional Indonesia (GMNI) yang berafilsi dibawah PNI, Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (GMS/GERMASOS) dengan PSI, Himpunan Mahasiswa Islam   (HMI)  dengan Masyumi,  Concentrasi  Gerakan   Mahasiawa Indonesia (CGMI) dengan PKI.
Pada  tanggal  28 Februari 1957,  aktivis-aktivis mahasiswa yang berbasis di UI berprakarsa menggalang senat-senat mahasiswa dari   berbagai  universitas  dan berhasil  membentuk   federasi mahasiswa yang bernama Majelis Mahasiswa Idonesia (MMI). Sementara  itu  peran militer dalam negara  terus mengalami perluasan  sejak akhir 1950-an.
Depolitisasi gerakan pemuda dan mahasiswa bermula  dari penandatanga‑nan  kerja sama antara pemuda dan Angkatan  Darat  17 Juni  1957.  Eskponen  gerakan  sosialis dan HMI  diikut sertakan  dalam aktivitas-ak‑stivitas di luar kampus. Sejak awal 1959 mereka telah mengukuhkan  hubungan dengan administratur-administratur  militer yang  berkaitan  dengan urusan pemuda  dan mahasiswa. Jadi bukan hal yang aneh bila pada  tahun 1966 mahasiswa-mahasiswa Bandung adalah  yang  paling militan berdemonstrasi mengulingkan Soekarno.  Sementara   itu  Gerakan  Pemuda  Islam Indonesia   (GPII) dibubarkan   dengan tuduhan  terlibat usaha pembunuhan   atas Soekarno.  
GMNI,  CGMI  dan  GERMINDO  kemudian membentuk  Biro   Aksi Mahasiwa dan menyelengarakan Kongres kelima PPMI di Jakarta  Juli 1961. Pada saat yang sama GERMASOS dan HMI  berhasil  masuk  ke dalam organisasi-organisasi lokal di Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya. Dalam  tahun  1961,  organisasi-organisasi lokal tersebut   membentuk  Sekretariat  Organisasi Mahasiswa Lokal (SOMAL). Dalam banyak kesempatan SOMAL selalu menegur PPMI  agar jangan  terlalu  terlibat  dalam isu politik.  Orang  akan dapat membaca  dalam pernyataan-pernyataan SOMAL, ada semacam hubungan antara aspirasi SOMAL dengan aspirasi senat-senat mahasiswa  yang tergabung dengan MMI.
Sehubungan  dengan  insiden  rasial di  Bandung, Mei  1963, konsulat   PPMI  Bandung  mengeluarkan pernyataan: Bahwa   yang sebenarnya  terjadi  bukanlah bermotifkan  rasial,  akan  tetapi merupakan  isu sosial yang diakibatkan gap antara si kaya dan  si miskin  yang semakin dalam. Keadaan  ini dimanfaatkan oleh MMI, mereka bergabung dengan organisasi pecahan PPMI  Bandung  dan medirikan  Majelis  Permusywaratan  Mahasiswa Indonesia (Mapemi)  pada bulan Agustus  1965.  Haruslah  dicatat dalam  eksekutif  MMI  terdapat  perwakilan  dari  Akademi  Hukum Militer  (AHM)  dan  Perguruan  Tinggi  Ilmu  Kepolisian  (PTIK), sehingga  tidak mengherankan bila kepemimpinannya dipegang  oleh perwira tingkat menengah AD dan kepolisian.
Dalam masa ini orientasi gerakan mahasiswa yang sudah  mulai membaik  dalam  mengugat hubungan  sosial kapitalisme, fasisme, imperialisme,  dan sisa-sisa feodalisme dikalahkah oleh  kesiapan militer  (yang masuk dalam gerakan pemuda mahasiswa dan  partai-partai sayap kanan). Jadi Gerakan Mahasiswa periode 66 dapat dikatakan Gerakan Mahasiswa yang tidak sepenuhnya berpihak pada rakyat. Sebelum  tahun  1970-an aktivis yang  mula-mula sadar  akan kekeliruan  ini adalah Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib  (HMI).
 Namun seperti  juga generasi baru aktivis-aktivis mahasiswa dan  pemuda tahun  70-an  lainnya yang mulai  menyadari  kekeliruan  strategi mereka  kembali membuat kesalahan strategi lainnya:  terpisah dari potensi kekuatan rakyat, atau tanpa basis kekuatan  massa yang  luas,  demostrasi TMII; anti-korupsi; Golput; Malari;  dan gerakan   '78  dengan  Buku  Putihnya merupakan   contoh-contoh keterasingan dan frustasi. Jadi pada periode 74-78 dapat dikatakan Gerakan Mahasiswa mengalami kegagalan karena gerakan tersebut kurang berinteraksi dengan massa rakyat.
Pada  tahun 1980-an, tawaran LSM, literatur populis dan  ada juga  sedikit  yang  struktural terutama yang  di  Barat, serta belajar  keluar  negeri  merupakan suatu  kondisi  objektif  yang ditawarkan  oleh kapitalisme yang  sedang  berada  pada titik kontradiski ekonomi, politik, dan budayanya produktivitas  yang rendah  (terutama produk yang  mempunyai  watak nasionalistis), kemiskinan, gap   antara   kaya   dan   miskin, pengangguran, konsumerisme,   kesenjangan   harga   dan pendapatan, krisis kepemimpinan,   rendahnya kuantitas  dan   kualitas pendidikan politik,  kosongnya  dunia pendidikan, keilmuan dan  budaya  yang nasionalistis  dan  pro-rakyat, perusakan lingkungan,  dekadensi moral,  dan  sebagainya,  yang belum  pernah terjadi  sedemikian membahayakan dalam sejarah bangsa Indonesia.
Kondisi  popularitas LSM, gelar-gelar akademis, teori-teori dan  kesimpu‑lan-kesimpulan ilmu-ilmu sosial (tentang masyarakat Indonesia)  yang dipasok dari luar negeri (terutama  dari  Barat) menyuburkan  budaya diskusi, penelitian masyarakat dan  aksi-aksi sosial  kedermawanan dan  peningkatan  pendapatan.  BRAVO! buat menjamurnya kelompok studi (1983) dan LSM, yang direspon mahasis­wa-mahasiswa moderat. Mereka yang tadinya berkeras menolak jalan aksi-aksi pengalangan massa, dalam waktu relatif cepat berbalik beramai-ramai ikut mendukung apa yang disebut sebagai gerakan "arus bawah". Yang lebih parah lagi adalah LSM, yang walaupun tidak pernah memberikan  picu  bagi tindakan  politik, proses pembusukkannya lebih  lamban ketimbang kelompok studi. Sokongan  keuangan  yang besar, yang terus-menerus mendemoralisasi aktivis-aktivis  sosial (bahkan  mahasiswa)  yang  diserap  kedalamnya, menyebabkan  LSM bertahan dalam wataknya semula.
Tahun 1985 dan seterusnya kebekuan   respon  masyarakat  terhadap   kondisi   objektif ekonomi, politik, dan budaya yang sangat negatif, berhasil oleh  gerakan-gerakan  mahasiswa,  yang  para  pelakuknya banyak berasal  dari  kelas menengah ke bawah dan masih sektarian bila dibandingkan  dengan  Filipina dan Korea  Selatan.  Bila  dilihat konsolidasi dan isunya, gerakan mahasiswa periode ini  relatif  lebih merakyat, berhasil  dalam membentuk opini dan lebih  kuat  dalam bargain politiknya.
Aksi  mahasiswa Ujung Pandang (1987) adalah aksi  yang  baru pertama  kalinya  dengan turun ke jalan (rally),  dengan jumlah massa  yang  relatif besar, dengan mengambil  isu  kebijaksanaan pemerintah  dalam  peraturan  lalu  lintas,  judi,  dan ekspresi kesulitan ekonomi. Aksi ini dihentikan dengan  memakan  beberapa korban.  Tradisi turun ke jalan ini telah menjadi trend pada saat ini, Pengerahan massa yang relatif besar pada saat ini belum konsisten pada tujuan politiknya. .
Celah-celah kegiatan pers dan tersebarnya mass media kampus, kegiatan-kegiatan diskusi, aksi-aksi yang dipikirkan masak-masak, benar-benar  memberikan pengalaman yang berharga, baik dari  segi pematangan, pemahaman,  penyatuan pikiran maupun  rekonsolidasi bagi proses selanjutnya gerakan mahasiswa tahun 80-an.
Kontinum gerakan mahasiswa tahun 80-an tampaknya kini  lebih menggembirakan.   Hingga  sekarang mereka  bisa merebut   opini nasional  dan  internasional, isunya  lebih  merakyat,   bargain politiknya lebih kuat, dapat menarik simpati rakyat serta tingkat kolaborasi  dengan unsur-unsur administrator  militer,  birokrat, partai, ex-partai,  ormas, LSM, kelompok studi, maupun  lainnya boleh  dikatakan  sangat rendah. Namun  kontinum tersebut  belumlah sampai  pada tingkat seperti yang dijelaskan sebelumnya.  
Tahun 1990, pada periode ini Gerakan Mahasiswa kembali mencoba membangun gerakan massa dengan hidupnya kembali aktivitas kampus. Gerakan Mahasiswa turun mengadvokasi kasus-kasus kerakyatan. Tahun 1992 terbentuk Solidaritas Mahasiswa Inndonesia untuk Demokrasi (SMID). Dan kader-kader banyak yang turun kesektor-sektor rakyat, seperti buruh, petani. Kader-kader SMID juga aktif mengadvokasi kasus-kasus kerakyatan, seperti kasus tanah Kedung Ombo, kasus buruh di Surabaya dan Jabotabek. Sampai-sampai kader-kader SMID banyak yang diculik dan dibunuh oleh Rejim diktator Orba. Puncaknya adalah Tragedi 27 Juli 1996 yang sempat membuat perlawanan Gerakan Mahasiswa kembali tiarap. Dan kembali melakukan gerakan bawah tanah. Tapi akibat dari tragedi 27 Juli perlawanan rakyat terhadap rejim penindas orba semakin besar, sentimen anti Soeharto sangat tinggi.

Gerakan Mahasiswa Tahun 1998
Gerakan Mahasiswa 98 munculnya bersifat momentum. Di akhir tahun 1997 Indonesia mengalami resesi ekonomi sebagai nakibat dari kewajiban untuk membayar hutang luar negeri yang sudah mengalami jatuh tempo. Dampak dari krisis ekonomi di Indonesia yang berkepanjangan ini adalah naiknya harga-harga sembako. Bulan-bulan berikutnya ditahun 1998 adalah malapetaka bagi rejim Orba. Tidak seperti yang banyak dibayangkan oleh pakar-pakar politik, perlawanan massa berkembang sedemikian cepat dan masif di hampir seluruh kota-kota besar di Indonesia. Posko-posko perlawanan sebagai simbol perlawanan terhadap rejim muncul diberbagai kampus dan dalam kesehariannya posko ini sangat disibukkan oleh kegiatan-kegiatan yang politis sifatnya seperti rapat-rapat koordinasi, pemutaran film-filim politik, dll. Tak nampak lagi kultur mahasiswa yang sebelumnya apatis, hedon, cuek, dll. Hampir di setiap sudut kita dapat menemukan mahasiswa yang berbicara tentang politik, benar-benar sesuatu yang baru!
Intensitas gerakan ini tidak dapat dilepaskan dari kondisi obyektif yang semakin tak menentu seperti krisis yang tak kunjung usai, tingkat represi yang semakin meningkat mulai dari penculikan aktivis sampai pada pemukulan dan penembakan mahasiswa yang mencoba turun ke jalan. Puncak dari tindakan represi ini adalah dengan ditembaknya 4 mahasiswa Univ. Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998. Penembakan ini memicu kemarahan massa rakyat, yang representasinya dilakukan dalam bentuk pengrusakan, penjarahan ataupun pemerkosaan di beberapa tempat di Indonesia. Praktis dalam 2 hari pasca penembakan, Jakarta berada dalam kondisi yanag tidak terkontrol. Mahasiswa kemudian secara serempak menduduki simbol-simbol pemerintahan lembaga legislatif beberapa hari kemudian (18 Mei), yang dilakukan hingga Soeharto mundur.
  Bentuk-bentuk perlawanan Organisasi mahasiswa pada saat itu adalah membentuk komite-komite aksi ditingkatan kampus dan juga mengajak elemen massa rakyat untuk menuntaskan Rejim Orba. Propaganda-propaganda yang dibangun pada awalnya mengangkat isu-isu ekonomis tentang turunkan harga sembako. Dan meningkat menjadi isu politis yaitu turunkan Soeharto dan cabut Dwifungsi ABRI (untuk isu ini hanya di beberapa kota yang tergolong lebih relatif radikal). Slogan aksi pada saat itu adalah Reformasi. Tapi pada saat itu terjadi perdebatan-perdebatan dikalangan Gerakan Mahasiswa. Perdebatan itu adalah apakah Gerakan Mahasiswa ini Gerakan Moral atau Gerakan Politik.
Tanggal 21 Mei 1998 Gerakan Mahasiswa yang di dukung oleh rakyat mampu melengserkan Soeharto. Tetapi setelah itu GM seperti kehilangan  arah dan merasa puas. Padahal yang justru menjadi problema rakyat Indonesia pada saat itu belum tersentuh. Di tingkat Gerakan Mahasiswa yang terjadi justru polarisasi dalam gerakan dan bukannya tuntasnya agenda-agenda Reformasi atau Revolusi Demokratik.

Membangun Kembali Gerakan Mahasiswa
Setelah Soeharto dilengserkan yang naik menggantikannya ialah Habibie yang notabene anak didik Soeharto. Dan masa pemerintahan Habibie ini jelas hanya pucuk pimpinan saja yang berubah, tetapi sistim ynag dipakai tetap mempertahankan sistim pemerintahan Orde Baru, Karena Habibie juga bagian dari produk Orba. Sehingga pada tanggal 13 November 1998 pecah peristiwa Semanggi I. Dimana terjadi pembantaian yang dilakukan aparat keamanan terhadap mahasiswa dan massa rakyat yang menolak di adakannya Sidang Istimewa MPR. Banyak jatuh korban dari pihak mahasiswa dan massa rakyat, sampai jatuh korban jiwa karena tindakan kekerasan yang diakibatkan pemukulan dan penembakan yang dilakukan Pasukan PHH pada saat itu.
Untuk membangun kembali Gerakan mahasiswa yang teridiolgis dan jelas keberpihakannya terhadap kelas kaum pekerja diupayakan oleh beberapa kawan mahasiswa pelopor. Beberapa organisasi mahasiswa dari Jakarta, Bandung, Surabaya, Jogja, Semarang, Solo dan Purwokerto membentuk organisasi tingkat Nasional yang diberi nama FONDASI (Front Nasional Untuk Demokrasi) pada tanggal 5 Februari 1999 di Bandung. FONDASI kemudian melibatkan diri melalui anggota-anggotanya pada tanggal 28 Februari - 5 Maret 1999 diadakan RMNI I di Bali yang dihadiri oleh 53 organisasi dari seluruh Indonesia. Hasilnya adalah aksi serentak tanggal 13 April di kota-kota besar Indonesia. Lalu dilanjutkan pada pertemuan RMNI II di Surabaya yang mengalami jumlah penurunan peserta menjadi 32 organisasi. Namun RMNI I &II tersebut tidak menghasilkan kepemimpinan nasional gerakan mahasiswa. Perdebatan yang terjadi di RMNI I dan II adalah mengenai pemerintahan transisi dan cabut dwifungsi ABRI, dan terutama tentang pengambilan momentum pemilu 7 Juni 1999. Apakah momentum Pemilu 7 Juni ini di ambil atau tidak. Ada ketakutan jika mengangkat isu boikot pemilu, massa rakyat pendukung fanatik partai-partai politik akan memukul gerakan mahasiswa. Namun kenyataannya, hal tersebut tidak terjadi.
Akhirnya Fondasi ditambah kelompok-kelompok mahasiswa yang memiliki kesamaan isu yaitu cabut dwifungsi ABRI, Pemerintahan Transisi, dan kesamaan taktik menghadapi Pemilu membentuk LIGA MAHASISWA NASIONAL Untuk DEMOKRASI (LMND) dalam Kongres Mahasiswa Nasional Pertama di Bogor tanggal 9-13 Juli 1999.
Pasca Pemilu Rejim Habibie ingin mensahkan RUU PKB yang dibuat oleh DPR. Dan kebijakan ini pun ditolak oleh mahasiswa dan massa rakyat dengan melakukan pelawanan hingga meletuslah peristiwa Semanggi II, Peristiwa ini kembali menimbulkan jatuh korban dipihak mahasiswa dan massa rakyat. Dan akhirnya Rejim Habibie menunda UU Drakula tersebut.
Tanggal 20 Oktober GusDur naik menjadi Presiden dan Megawati menjadi wakilnya. Dan Gerakan Mahasiswa menghadapi Rejim yang jelas berbeda dengan Rejim sebelumnya. Ruang-ruang demokrasi memang sedikit terbuka dimasa pemerintahan Abdurahman Wahid ini, tapi disatu sisi masih banyak terdapat tindakan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan terhadap para demonstran. Rejim GusDur-Mega pun terbukti ternyata tidak berpihak pada rakyat karena kebijakan-kebijakan neoliberalnya. Dan yang membuat kecewa lagi Rejim ini pun ikut mendukung dan mencoba menggolkan kembali RUU PKB yang jelas-jelas sudah memakan korban jiwa tersebut. Ini dikarenakan Rejim GusDur-Mega terlalu banyak kompromi dan tidak berani bertindak tegas terhadap sisa-sisa kekuatan lama yaitu sisa Orba dan militer.
            Namun disatu sisi ternyata rejim GusDur yang masih bersifat setengah hati dalam menegakkan demokratisasi di Indonesia, mencoba untuk menarik simpati massa dengan menyingkirkan elit-elit politik gadungan dan militer yang pada saat Pemilu telah mendukungnya. Tentu saja hal ini berakibat pada munculnya konflik diinternal kabinet rejim GusDur. Elit-elit politik gadungan yang disingkirkan oleh GusDur-pun menggunakan berbagai macam cara baik itu intra maupun ekstra parlementer dalam rangka mendelegitimasi rejim GusDur. Gerakan mahasiswa yang ada pada saat itupun tidak luput dari intervensi kepentingan para elit politik gadungan tersebut. Akibatnya terjadi polarisasi antara gerakan yang pro GusDur dengan gerakan yang anti terhadap GusDur, sebagian besar dari mahasiswa yang terjebak dalam polemik ini adalah kalangan Badan Eksekutif Mahasiswa [BEM]. Diantaranya yang cukup dominan dalam melakukan aksi-aksi massa adalah Badan Eksekutif Mahasiswa se-Indonesia atau biasa disingkat BEM-sI yang melakukan penolakan terhadap GusDur lewat isu seperti Buloggate dan mengusulkan segera dilakukannya Sidang Istimewa MPR/DPR. Golongan Kedua adalah yang menamakan diri mereka Badan Eksekutif Mahasiswa Indonesia [BEMI] dengan aksi-aksi pendukungan GusDur mereka. Saat inilah mahasiswa mengalami ketidakfokusan isu.
Namun demikian ada golongan diluar itu yang melihat bahwa ada usaha permainan politik oleh sisa-sisa Orde Baru yang manifes dalam partai Golkar serta Militer dibalik ini semua. Analisa ini datang dari golongan gerakan ekstra parlementer seperti LMND, FORKOT, FAMRED, PMII serta beberapa organ sektoral lainnya seperti dari buruh ada FNPBI yang cukup dominan serta dari partai politik PRD, PKB dan komunitas NU-nya. Golongan yang terakhir ini mencoba untuk melakukan aksi-aksi propaganda bahwa permasalahan sebenarnya bukanlah pro-kontra GusDur melainkan adanya bahaya kekuatan ORBA yang mulai bangkit kembali. Isu yang dibawa adalah seperti Bubarkan Golkar, Bubarkan Parlemen.  Namun lewat upaya-upaya licik dari elit politik gadungan –GusDur termasuk didalamnya- maka permasalahan yang lebih esensial ini menjadi kabur dan berakhir dengan kejatuhan GusDur.
            Lewat mekanisme undang-undang politik yang ada dipilihlah Wakil Presiden pada saat itu, Megawati untuk menggantikan GusDur. Rejim yang baru ini segera melakukan reshuffle kabinet dalam rangka melakukan power sharing dengan elit-elit politik gadungan seperti PAN, PPP, PBB, GOLKAR, serta militer. Format baru ini telah membentuk sebuah rejim baru Mega-Hamzah –sebagai wakilnya- yang ternyata masih juga melanjutkan kebijakan GusDur yang tidak berpihak pada massa rakyat.   

Gerakan Mahasiswa Kini
 Sudah menjadi watak alami dari borjuasi di Indonesia yang pengecut dan selalu menghambakan diri kepada kekuatan modal asing. Hal ini tercermin lewat kebijakan Mega-Hamzah yang sejak awal menitikberatkan pada pembangunan situasi yang kondusif di dalam negeri untuk menarik investor asing masuk ke Indonesia. Solusi kebijakan ini ternyata pada perkembangannya hanya menambah hutang-hutang baru yang dilimpahkan ke rakyat dan yang terjadi malah krisis berkepanjangan. Salah satu kebijakan dari rejim Mega-Hamzah yang dinilai tidak berpihak pada kepentingan rakyat adalah pencabutan subsidi sehingga menibulkan efek domino yang memicu tingkat kenaikan harga bahan pokok. Selain itu di sektor industri terjadi “pengefesiensian” akibat melambungnya harga BBM, konsekuensinya terjadi rasionalisasi besar-besaran terhadap buruh pabrik. Akibat dari itu adalah meningkatnya jumlah pengangguran dimana-mana hingga nominal 37 Juta. Belum lagi kebijakan fiskal ekspor dan impor yang memicu tingkat inflasi dan menurunnya pertumbuhan ekonomi hingga 3%. Kebijakan Mega-Hamzah yang paling fatal adalah memberikan konsesi yang begitu besar terhadap pihak militer dengan memberikan kedudukan sentral terhadap para pejabat militer yang bertanggungjawab pada kasus-kasus pelanggaran HAM dan demokrasi. Hal inilah yang menjawab mengapa terjadi represifitas yang begitu besar terhadap gerakan saat ini oleh aparat.
            Melihat hal ini justru gerakan mahasiswa mengalami kemunduran dan menjadi terpisah dengan basis massa rakyat lainnya. Gerakan mahasiswa malah sibuk dengan isu-isu yang elitis dan cenderung tidak fokus. Hanya beberapa saja dari organ gerakan ekstra kampus yang masih mampu mengkonsolidasikan diri dan terus menerus secara konsisten melakukan tuntutan terhadap rejim. Namun yang terjadi sekali lagi adalah pengulangan sejarah, rejim Mega-Hamzah yang awalnya diharapkan mampu bertindak lebih demokratis dan populis ternyata malah mempraktekkan kebijakan yang sama dengan jaman Orde Baru berkuasa. Terjadi pemberangusan terhadap nilai-nilai demokrasi di gerakan lewat penangkapan aktivis-aktivis demokrasi, terjadi pengilusian terhadap gerakan mahasiswa oleh rejim dengan mengkampanyekan gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral semata. Artinya gerakan mahasiswa cukup mengkritisi saja problema yang ada bukannya menjadi kelas transisional terhadap kelas yang lain untuk memberikan transformasi kesadaran ke hal yang lebih progresif dan menjelaskan kepada massa akan perlunya rakyat mengambil alih pemerintahan sebagaimana selalu dikampanyekan oleh organ-organ pro demokrasi –termasuk LMND.
            Gerakan mahasiswa menjadi gagap dalam merespon keadaan krisis ini berbeda dengan sektor massa yang lain; Buruh, Tani, Kaum Miskin Kota yang tanpa dukungan dari mahasiswa-pun ternyata mampu melakukan aksi dalam skala besar. Disinilah peran pelopor gerakan mahasiswa untuk menyatukan kekuatan-kekuatan tersebut menjadi hal yang urgen.
            Rakyat yang sedang resah membutuhkan sebuah kepeloporan dalam hal kesadaran disini. Memajukan kesadaran ekonomis massa hingga menuju tataran politis adalah konkretisasi kepeloporan yang dimaksud.